FENOMENA kekerasan seksual di Indonesia menunjukkan tren yang semakin mengkhawatirkan. Kasus demi kasus terungkap—mulai dari dokter yang melecehkan pasiennya, tokoh agama yang menodai amanah moralnya dengan mencabuli santri, hingga pelecehan seksual di ruang publik seperti transportasi umum yang semestinya menjadi tempat aman bagi semua warga negara, terutama perempuan.
Data dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2022 terdapat 3.539 kasus kekerasan seksual di transportasi umum saja. Dalam kasus terbaru di Cileunyi, seorang pengemudi taksi daring diduga melecehkan penumpangnya yang masih duduk di bangku SMP. Fakta ini menunjukkan bahwa tak ada lagi ruang yang benar-benar aman bagi perempuan dan anak-anak dari ancaman kekerasan seksual.
Kegagalan Sistemik dalam Mencegah Kekerasan Seksual
Peningkatan kasus kekerasan seksual bukan sekadar persoalan moral individu, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam melindungi masyarakat. Dalam sistem kapitalisme, kebebasan individu dijadikan pilar utama, namun sering kali kebebasan itu diterjemahkan secara keliru menjadi liberalisasi seksual, konsumsi tubuh perempuan, dan normalisasi konten-konten pornografi.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara rutin melaporkan bahwa akses mudah terhadap pornografi, eksploitasi tubuh perempuan dalam industri hiburan, serta lemahnya regulasi dalam menjaga ruang interaksi publik turut menjadi pemicu meningkatnya kasus kekerasan seksual.
Negara telah berupaya menekan penyebaran konten pornografi, namun efektivitasnya jauh dari memadai. Ribuan konten memang telah diblokir, namun dalam kenyataannya, akses ke konten tersebut tetap mudah, baik melalui internet, media sosial, maupun platform streaming. Selain itu, sanksi hukum bagi pelaku kekerasan seksual kerap dinilai tidak menimbulkan efek jera. Beberapa pelaku bahkan hanya dijatuhi hukuman ringan, atau diselesaikan melalui mekanisme damai di luar pengadilan.
Hal ini menandakan bahwa pendekatan hukum represif semata tidak cukup. Kita perlu mempertanyakan paradigma sistemik yang selama ini membentuk perilaku masyarakat: mengapa pelecehan dan kekerasan seksual menjadi sedemikian marak? Apa yang salah dari sistem nilai dan struktur sosial kita?
Paradigma Kapitalisme dan Komodifikasi Seksualitas
Sistem kapitalisme secara inheren memfasilitasi liberalisasi budaya dan komersialisasi seksualitas. Tubuh perempuan bukan hanya objek visual, tetapi juga komoditas pasar. Mulai dari iklan, hiburan, hingga dunia kerja, eksploitasi tubuh perempuan menjadi bagian dari strategi pemasaran yang dilegalkan oleh pasar.
Kondisi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Sistem ini membentuk budaya permisif terhadap pornografi, gaya hidup bebas, bahkan glorifikasi hubungan seksual nonmarital di media. Dalam atmosfer sosial semacam ini, perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Interaksi antara laki-laki dan perempuan kehilangan batas etik dan syariat yang seharusnya menjadi pagar moral.
Dalam budaya konsumtif yang digerakkan oleh kapitalisme, perempuan tidak dilihat sebagai subjek bermartabat, melainkan objek konsumsi yang bisa dikomodifikasi. Inilah akar ideologis yang membuat upaya perlindungan hukum menjadi semu dan tak menyentuh akar masalah.
Solusi Islam: Sistem Preventif, Edukatif, dan Represif
Islam memberikan pendekatan yang menyeluruh dan sistemik dalam mencegah kekerasan seksual. Islam tidak hanya membangun sistem hukuman, tetapi terlebih dahulu membangun struktur nilai dan interaksi sosial yang menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia.
1. Penanaman Nilai dan Batasan Interaksi
Islam menetapkan batas interaksi antara laki-laki dan perempuan bukan sebagai bentuk diskriminasi, tetapi sebagai pagar preventif untuk mencegah pelanggaran lebih besar. Menundukkan pandangan (QS. An-Nur: 30-31), menutup aurat dengan pakaian yang longgar dan tidak menonjolkan lekuk tubuh (QS. Al-Ahzab: 59), serta larangan berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (khalwat) adalah bentuk-bentuk pengaturan interaksi sosial yang telah terbukti mencegah maraknya pelecehan seksual.
Rasulullah SAW bersabda:
“Pandangan adalah panah beracun dari panah-panah Iblis. Barang siapa menundukkannya karena Allah, maka Dia akan memberikan kenikmatan iman dalam hatinya.” (HR. Al-Hakim)
2. Pelarangan Eksploitasi Seksual Perempuan
Islam melarang keras eksploitasi tubuh perempuan dalam bentuk apa pun—baik sebagai objek hiburan, ajang kecantikan, atau alat promosi. Bahkan meskipun dilakukan atas dasar ‘pilihan pribadi’, Islam memandang bahwa kebebasan individu dibatasi oleh kemaslahatan umum dan kehormatan umat.
3. Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil
Dalam sistem Islam, kejahatan seksual dijatuhi sanksi yang tegas berdasarkan jenis pelanggarannya. Untuk kasus pemerkosaan, pelaku dapat dikenakan hukuman cambuk dan pengasingan (jika belum menikah), atau hukuman rajam (jika sudah menikah). Sementara pelaku eksploitasi seksual atau produsen konten pornografi dijatuhi sanksi ta’zir, yang dapat berupa penjara, cambuk, atau bahkan hukuman mati tergantung beratnya pelanggaran.
Tegaknya hukum bukan hanya karena adanya undang-undang, melainkan karena sistem pemerintahan Islam menjadikan syariat sebagai sumber hukum tertinggi, bukan kepentingan politik atau ekonomi.
Perlindungan Negara yang Nyata: Teladan dari Sejarah
Islam telah memberikan contoh konkret bagaimana negara harus bersikap terhadap ancaman terhadap kehormatan perempuan. Dalam sejarah, ketika seorang perempuan Anshar dilecehkan oleh pedagang Yahudi Bani Qainuqa, Rasulullah SAW tidak hanya mengecam, tapi langsung mencabut perjanjian damai dan menyatakan perang terhadap pelakunya. Begitu pula Khalifah Umar bin Khattab yang bertindak tegas atas kasus serupa.
Ini adalah bentuk nyata dari peran negara sebagai junnah (perisai) bagi rakyatnya—bukan sekadar pengatur administratif, tetapi pelindung sejati kehormatan dan keselamatan warganya.
Urgensi Perubahan Sistemik
Kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan parsial dan temporer. Selama sistem yang digunakan masih berpijak pada kapitalisme-liberalisme yang melegalkan pornografi, eksploitasi tubuh, dan interaksi bebas tanpa pagar syariat, maka upaya perlindungan akan selalu tertinggal dari laju kejahatan.
Perubahan mendasar hanya bisa terwujud melalui penerapan sistem kehidupan Islam secara menyeluruh (kaffah), yang mengatur semua aspek kehidupan: individu, masyarakat, dan negara. Sistem inilah yang lahir dari wahyu Allah SWT—Tuhan yang Maha Mengetahui kelemahan dan kebutuhan manusia.
Penutup
Meningkatnya kekerasan seksual adalah bukti bahwa sistem saat ini gagal menjaga kehormatan manusia. Kita tidak bisa berharap pada sistem yang melegalkan pornografi tapi berharap terbentuk masyarakat yang bersih. Kita tidak bisa membiarkan kebebasan individu melewati batas, tapi berharap kejahatan seksual tidak meningkat.
Sudah waktunya kita membuka ruang diskusi serius tentang solusi sistemik berbasis nilai dan syariat Islam—bukan hanya demi perempuan, tetapi demi martabat seluruh umat manusia.
Wallahu a’lam.





























































































PALING DIKOMENTARI
Rosan Roeslani Bongkar Akal-akalan Keuangan…
Apa itu Rehabilitasi dan Tujuannya
Kabar Gembira, Bustami Hamzah Resmi…
Bukan Sekadar Pelengkap! PTS Kini…
Buni Yani: Gugatan Ijazah SMA…
KOMENTAR
Semoga tidak ada kaitannya dengan Bobby Nasution
Innalillahi wainna ilaihi raji'un.. semoga kehadiran negara dalam bencana bisa…
In sya Allah, tetap rakyat yang akan menanggung nya. Hahahaha...
Kita do'akan semoga kejaksaan bisa menangkap Buronan satu ini.
Hahaha. tingkat khayalan NASA merusak akal sehat umat manusia. NASA…