Oleh: Don Zakiyamani**
DAHULU saya mengira penamaan BL itu karena di Aceh banyak lembu dan di Sumut banyak kambing. Meski ada juga yang memplesetkan BL “Bumi Lamuri”, namun semua plesetan hanya jurus ccoklogi. Pada dasarnya hanya kode wilayah dari kepolisian namun demikian kode itu memengaruhi PAD sebuah daerah nantinya.
Mari kita hitung secara sederhana. Katakan ada 1 juta kendaraan di Aceh. Jika 10% di antaranya (100 ribu unit) masih berplat BK, dengan rata-rata pajak Rp2 juta per tahun, maka potensi kebocoran PAD mencapai Rp200 miliar setiap tahun. Jumlah yang bisa dipakai untuk memperbaiki jalan, membangun sekolah, atau memperkuat layanan kesehatan.
Dan itu baru asumsi 10%. Bagaimana jika kenyataannya lebih besar? Bisa jadi, angka kebocoran ini setara dengan proyek-proyek strategis yang tidak pernah terwujud di Aceh karena uangnya “nyasar” ke provinsi tetangga.
Ilustrasi sederhana itu barangkali yang sedang dilakukan Bobby, Gubernur Sumatera Utara. Bukan kendaraan yang melintas sebentar seperti liburan. Saya coba bersangka baik berdasarkan klarifikasi pihak Sumatera Utara. Mereka hanya ingin meningkatkan PAD melalui pajak kendaraan perusahaan yang beroperasi di sana. Di Aceh hal yang sama dapat kita lakukan, misalnya kendaraan-kendaraan perusahaan yang beroperasi di Aceh.
Dari timur ada PT. Medco, di barat ada PT. MIFA dan beberapa perusahaan lain.
Bahkan di Aceh, kita seharusnya melalukan razia penerapan qanun LKS terkait keharusan memiliki rekening bank syariah bagi perusahaan dan usaha cabang yang beroperasi di Aceh. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Qanun ini jelas menyebut:
“Setiap orang, lembaga, dan/atau badan hukum yang melakukan transaksi keuangan di Aceh wajib dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah.” (Pasal 2 ayat (3))
Artinya, semua pelaku usaha yang beroperasi di Aceh — termasuk cabang perusahaan dari luar daerah — wajib menggunakan rekening bank syariah untuk transaksi bisnisnya. Tidak ada lagi ruang bagi perusahaan besar beroperasi dengan sistem konvensional di Aceh.
Qanun LKS juga menegaskan bahwa lembaga keuangan yang tidak patuh dapat dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pencabutan izin operasional. Dengan kata lain, jika Aceh serius menegakkan aturan ini, maka setiap rupiah hasil usaha di Aceh seharusnya mengalir melalui sistem keuangan syariah di Aceh, bukan keluar daerah.
Seandainya ini dijalankan ketat, kebocoran PAD dari sisi pajak kendaraan perusahaan bisa ditekan, dan Aceh punya posisi tawar lebih kuat terhadap investasi luar. Bahkan, lebih jauh lagi, kita seharusnya melakukan razia bukan hanya untuk kendaraan berplat BK, tapi juga untuk penerapan Qanun LKS: memastikan setiap perusahaan dan usaha cabang yang beroperasi di Aceh benar-benar memiliki rekening syariah di Aceh.
Coba Wali Kota Banda Aceh lakukan razia di swalayan-swalayan dan Gubernur merazia perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh. Apakah mereka sudah memiliki rekening bank syariah? Karena saya punya pengalaman terkait hal ini: swalayan nasional yang beroperasi di Banda Aceh tidak memiliki rekening bank syariah. Saat hendak QRIS, tidak ada rekening BAS, katanya. Hal yang sama bisa berlaku di jaringan ritel modern, dari minimarket hingga pusat belanja, yang omzetnya miliaran rupiah setiap bulan. Jika uang itu tidak berputar melalui rekening syariah di Aceh, maka potensi kebocoran kembali terbuka lebar.
Institusi pendidikan juga tidak bisa dibiarkan bebas dari aturan ini. USK dengan status PTN-BH memiliki otonomi luas dalam mengelola keuangan, sementara PTS berskala lokal dan nasional pun mengelola dana besar dari UKT, biaya pendidikan, hibah, hingga gaji pegawai. Jika semua transaksi itu tidak lewat bank syariah di Aceh, maka kita hanya menjadi penonton: kampus tumbuh, mahasiswa membayar, dosen digaji, tapi uangnya berputar di luar daerah. Kalau pun sudah, apakah porsinya lebih besar ketimbang simpanan di bank konvensional di luar Aceh. Bukankah kampus harus menjadi contoh teladan penerapan qanun LKS?
Hal yang sama berlaku untuk perusahaan tambang, migas, perkebunan, hingga kontraktor besar yang mendapatkan proyek di Aceh. Apakah mereka menyalurkan transaksi melalui Bank Aceh Syariah maupun bank syariah lain yang ada di Aceh? Jika tidak, maka keberadaan Qanun LKS seakan hanya menjadi simbol tanpa kekuatan nyata.
Jika Qanun LKS diterapkan secara konsisten, dampaknya akan terasa di banyak sisi. Arus dana perusahaan besar, swalayan, ritel modern, institusi pendidikan, hingga proyek tambang akan tercatat dan berputar di Aceh, memperkuat PAD dan memudahkan pemerintah memungut pajak daerah.
Bagi perbankan kita (BAS), likuiditasnya akan ikut meningkat sehingga kapasitasnya menyalurkan pembiayaan untuk UMKM dan sektor produktif lokal semakin besar. Uang yang berputar di Aceh menciptakan efek ganda bagi ekonomi: memperluas lapangan kerja, memperkuat daya beli, dan membuka peluang usaha baru.
Di saat yang sama, penerapan Qanun ini juga menegaskan identitas Aceh sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam secara menyeluruh, termasuk dalam sektor ekonomi. Ia menjadi simbol sekaligus instrumen kemandirian, karena perusahaan-perusahaan besar tak lagi leluasa memindahkan keuntungannya ke luar tanpa tersentuh aturan lokal.
Namun di sinilah sering terjadi bias kognitif kita. Kita begitu vokal mengkritik bank syariah sendiri — soal layanan, antrian, atau sistem digital yang belum sempurna — tapi diam seribu bahasa ketika ritel modern, swalayan, perusahaan tambang, bahkan kampus besar jelas-jelas melanggar Qanun LKS. Ini seperti marah karena rumah berantakan, tapi membiarkan tetangga mencuri hasil panen.
Dengan demikian, Qanun LKS sesungguhnya bukan sekadar regulasi teknis, melainkan fondasi untuk menata kembali aliran uang dan potensi ekonomi Aceh agar benar-benar memberi manfaat bagi rakyatnya. Yang dibutuhkan hanya keberanian politik untuk menegakkannya dengan sungguh-sungguh.
Selama ini apa yang terjadi, kita terus mengkritisi perbankan kita. Ya, tujuannya baik agar kinerja meningkat, namun di saat yang sama kita diam pada mereka yang melanggar Qanun LKS. Betapa bodohnya kita membiarkan mereka mengais tiap rupiah di Aceh namun uang mengalir di luar Aceh. Seperti orang yang marah-marah karena ayamnya tidak bertelur, tapi pura-pura tidak lihat ketika tetangga tiap hari mencuri telurnya.
Karenanya kita patut berterima kasih pada Bobby karena mengingatkan kesadaran kita. Pertama soal pajak plat kendaraan dan kedua tentunya penerapan qanun LKS yang selama ini diabaikan.[]































































































