UPDATE

DUNIA
INTERNASIONAL

Presiden Dewan HAM PBB, Kuatkah Diplomasi Indonesia?

Oleh: Rut Sriwahyuningsih 1

TAHUN 2025 dianggap istimewa, lantaran Menteri Luar Negeri Sugiono mengumumkan Indonesia telah mendapatkan dukungan signifikan dari negara-negara Asia-Pasifik Group (APG) untuk posisi prestisius, yaitu terpilih sebagai nominasi tunggal Presiden Dewan HAM PBB yang akan ditentukan dalam Pertemuan Dewan HAM PBB pada 8 Januari 2026.

Pemilihan sebagai anggota Dewan HAM PBB pada 10 Oktober 2025 di Markas Besar PBB, New York, dengan perolehan 186 suara dari total 192 negara yang hadir untuk Indonesia.

Menteri Sugiono menilai penetapan ini mencerminkan kepercayaan negara-negara di kawasan Asia Pasifik terhadap Indonesia. Ia berjanji akan menjalankan amanah ini secara objektif, inklusif, dan berimbang. Wakil Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Duta Besar Sidharto Reza Suryodipuro terpilih menjadi pejabatnya.

Indonesia saat ini masih sebagai anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2024-2026. Berdasarkan mekanisme rotasi kawasan, Asia-Pacific Group memperoleh giliran memegang Presidensi Dewan HAM pada siklus ke-20 tahun 2026, sehingga penetapan Indonesia ini sebenarnya sejalan dengan pengaturan regional yang telah disepakati.

Apa Istimewanya Posisi Jika Hanya Basa-Basi Global?

Soal menjadi presiden dalam sebuah lembaga internasional maupun regional Indonesia memang sudah biasa, sebut saja sebagai Ketua ASEAN 2023 dan Presidensi G20 2022, pertanyaannya adakah pengaruh signifikan negara ini menjadi independen dan lebih maju dari sebelumnya?

Namun dukungan kuat mengalir dari DPR RI agar Indonesia terpilih sebagai Presiden Dewan HAM PBB periode 2026, yang diyakini akan membuka peluang besar untuk memperkuat posisi diplomasi global (merdeka.com,28-12-2025).

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKB, Oleh Soleh, menyatakan dukungan penuh sekaligus menganggapnya sebagai langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah diplomasi global. Inilah kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk menjelaskan isu-isu HAM di Tanah Air secara komprehensif, seperti masalah Papua dan kasus orang hilang. Ini juga dapat menjadi sarana efektif untuk mengembalikan citra positif Indonesia di mata internasional.

Bahkan menurut Soleh, bisa meredakan penyudutan yang selama ini terjadi, nominasi ini menjadi langkah proaktif dalam menunjukkan komitmen Indonesia terhadap penegakan HAM. Kesempatan ini juga dinilai strategis untuk membawa Indonesia lebih dekat ke dalam jajaran Dewan Keamanan Tetap PBB, yang memiliki hak veto. Mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk dan populasi muslim terbesar di dunia. Faktor demografi ini dapat menjadi kekuatan tawar yang signifikan dalam diplomasi internasional.

Demikian pula dengan anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini menilai bahwa nominasi ini bisa menjadi alat ukur kemajuan, sekaligus pendorong percepatan pembenahan di rumah sendiri. Pemerintah perlu menunjukkan konsistensi melalui kebijakan yang selaras dengan standar HAM internasional, pelaporan yang transparan, serta kerja sama yang erat dengan lembaga pengawas nasional dan para pemangku kepentingan terkait.

Ini bukan sekadar kebanggaan diplomasi Indonesia tegas Amelia, Ini adalah peluang strategis untuk ikut memperkuat tata kelola HAM internasional yang lebih konstruktif yang mengakar pada dialog, kerja sama, dan penghormatan universal terhadap martabat manusia (antaranews.com, 29-12-2025).

Berita Lainnya:
Hamas Konfirmasi Kematian Abu Ubaida dan Sejumlah Komandan Senior dalam Serangan Israel

Faktanya Indonesia sudah cukup lama menjadi anggota Dewan HAM PBB yaitu sejak periode, yaitu 2006–2007, 2007–2010, 2011–2014, 2015–2017, dan 2020–2022. Namun tetap saja isu HAM tak pernah usai, apakah setelah menjadi presiden akan ada perubahan? Bisa jadi nasib yang sama akan menimpa Indonesia sebagaimana negara lain yang menjadi presiden sebelumnya seperti Korea Selatan, German, Gabon dan Polandia.

Semua bertekuk lutut di bawah negara AS sebagai negara pemegang hak veto, Israel melenggang dan pelanggaran HAM terakbar abad ini terjadi begitu saja di mata negara-negara yang mengusung misi HAM. Sadarkah kita, bahwa isu HAM hanyalah lolipop negara adidaya pengemban Kapitalisme untuk negara-negara lain di dunia, terutama negara-negara Islam yang kaya sumber daya alam dan manusia yang memiliki ruh perjuangan hingga keniscayaan menguasai dunia?

HAM adalah alat negara kafir untuk melanggengkan hegemoni Barat dan pemikiran batilnya, kepada dunia Islam. Buktinya selalu bermakna ganda, jika pelaku pelanggaran adalah muslim maka dunia diminta bergerak bersama atas nama perang melawan terorisme. Sementara ketika ada pembakaran Al-Quran, pelarangan penggunaan hijab bagi muslimah, penghinaan Nabi Muhammad dan monsterisasi ajaran Islam lainnya, dunia diminta diam, tak ada pengadilan internasional, semua kasus hilang dalam senyap. Kalaulah ada kecaman, hanya akan berlangsung beberapa saat.

HAM disahkan PBB melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, Prancis. Dokumen ini menjadi standar global pertama untuk hak-hak dasar manusia dan diperingati setiap tahun sebagai Hari HAM Sedunia. Sebagai respon terhadap kengerian dan kejahatan kemanusiaan selama Perang Dunia II, yang menunjukkan kegagalan perlindungan hak dasar manusia, sehingga PBB menginisiasi standar universal baru untuk menjamin kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia, berdasarkan nilai luhur martabat manusia sejak lahir.

Sayangnya, pemegang kendali HAM yaitu PBB sendiri tak berdaya di hadapan negara pemegang hak veto yang sekaligus aktor pemicu berbagai perang di dunia ini yaitu AS, Cina, Rusia, Prancis dan Inggris. Bahkan dunia menyaksikan bagaimana AS mendiamkan genosida yang dilakukan Israel, secara sadar memasok amunisi, menambah pasukan dan mengancam negara-negara Arab dan teluk untuk tidak ikut campur upaya “ pembersihan Gaza” kepada Israel. Adakah yang lebih kejam dari ini? Setahun lebih rakyat Palestina digempur bom, padahal yang tersisa adalah perempuan dan anak-anak. Berbagai upaya gencatan senjata dianggap angin lalu, Israel tetap membabi buta, memblokade bantuan negara-negara lain bahkan terus mengumumkan perang hingga Gaza habis.

Khilafah, Sistem Pemerintahan Mandiri dan Berdaulat

Melambung setinggi apapun harapan para wakil rakyat, akan kembali terempas di tanah dan hancur. Masalahnya bukan semata pada posisi Indonesia yang memang tak strategis dilihat dari ekskalasi politik. Memang negara kita unggul di demografi, namun sistem yang digunakan masih Kapitalisme yang jelas lemah. Kita bisa mengingat kembali bagaimana hasil negoisasi Presiden Prabowo terkait kebijakan reprosikal dengan AS, perang tarif yang malah ujungnya mengeluarkan kekayaan negeri tanpa penghalang berarti. Begitupun kerjasama regional lainnya yang malah menjadikan Indonesia pasar bebas banjirnya produk luar negeri tanpa pajak dan bea apapun.

Berita Lainnya:
Bela Menlu Sugiono dari Kritik Tajam Dino Patti Jalal, Pigai Malah Kena Sekak Okky Madasari

Indonesia hanyalah pasar strategis bagi negara-negara pengemban Kapitalisme, padahal karakter negara adidaya adalah yang ekonominya stabil dan mandiri. Jelas, masuknya Indonesia menjadi nominasi tunggal Presiden Dewan HAM PBB hanyalah basa-basi politik. Apalagi mimpi menjadi bagian dari negara pemegang hak veto hanya dengan modal banyaknya penduduk muslim di Indonesia.

Dunia sudah jumud, terlalu penat memikirkan persoalan yang tiada henti hingga tak sadar ada solusi hebat yang ditinggalkan. Akar masalahnya adalah diterapkannya Sistem Kapitalisme di dunia. Sistem yang mengunggulkan kapital (modal), sehingga akses-akses yang menguasai hajat hidup orang banyak hanya bisa dipegang pemodal besar. Negara, termasuk oknum pejabat yang merangkap jadi pengusaha hanya mampu menjadi fasilitator kebijakan. Yang mempersilahkan kekayaan alam negeri Zamrud Khatulistiwa beralih dihegemoni penguasa barat.

Sistem Kapitalisme ini tak pernah bisa dipisahkan dengan uslubnya (cara) yaitu dengan menjajah. Baik fisik maupun pemikiran. Barat sengaja menciptakan konflik di dalam negeri sebuah negara, ikut campur urusan politiknya hanya agar bisa memastikan tanah jajahannya aman. Lebih ngeri, agar Islam tidak bangkit dan kejayaannya tidak kembali sehingga mereka tak terkubur lagi.

Saatnya kaum muslim menyadari, bahwa hidup mulia, saling menghargai dan hanya derajat ketakwaan yang membedakan hanyalah dengan Islam. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab mengatakan,” Sesungguhnya kami adalah kaum yang hina, lalu Allah memuliakan kami dengan Islam. Jika kami mencari kemuliaan selain dari apa yang telah Allah muliakan bagi kami, niscaya Allah akan mempermalukan kami.”

Hal itu Umar bin Khaththāb saat pergi menuju Syām, sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Al-Mustadrak karya Imam Al-Hakim, Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ menemati perjalanan beliau. Mereka lalu sampai di arungan sungai, sedangkan saat itu ‘Umar berada di atas untanya. Khalifah Umar kemudian turun dari untanya lalu melepas kedua sepatunya, lantas menaruhnya di atas bahunya, kemudian memegang tali kekang untanya dan menyeberangi arungan sungai. Abū ‘Ubaidah lalu berkata: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn, engkau melakukan ini? Melepas sepatu dan menaruhnya di bahu, kemudian memegang tali unta sambil menyeberangi arungan sungai ini? Aku tidak optimis rakyat negeri ini akan menghormati engkau”. ‘Umar lalu berkata: “Celaka kamu, tidak ada yang berani mengatakan ini selain kamu. Wahai Abū ‘Ubaidah, aku melakukan ini agar menjadi contoh (pelajaran) bagi umat Muḥammad Saw.

Maka, pengakuan atas HAM dalam Islam tidak ada, sebab segala amal perbuatan disandarkan pada syariat Allah bukan perkataan manusia. Nyatanya memang HAM hanya memiliki satu kepentingan dan sandaran, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Khilafah justru menjadi negara adidaya yang mandiri, tanpa perlu bekerjasama dengan negara kafir apalagi minta diakui secara global memiliki nilai tawar. Luasnya wilayah Daulah Khifah yang berdiri sepanjang 1300 tahun sudah cukup menjadi bukti, keadilan Islam bagi dunia.

Wallahualam bissawab.

Referensi:

  1. Editor di Harian Aceh Indonesia[]
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.