Oleh: Damai Hari Lubis*
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
I. Pendahuluan
UUD 2002 dan Fenomena Kepemimpinan Satu Dekade
Perjalanan konstitusi pasca-Amandemen (UUD 2002) selama satu dekade terakhir menciptakan sebuah “Labirin Kepemimpinan”. Secara objektif, sistem ini melahirkan gaya kepemimpinan yang semula dianggap sederhana dan tradisional, namun dalam praktiknya justru memperkuat cengkeraman politik, ekonomi, dan hukum pada satu titik sentral (krusialistik).
Implikasinya, muncul fenomena yang kita saksikan hari ini, upaya penggalangan kekuasaan yang mengarah pada politik dinasti, yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai “pelanggaran etika konstitusional”. Ketika instrumen hukum digunakan sebagai alat estafet kekuasaan (seperti kasus di MKMK), maka nomenklatur demokrasi telah dibajak untuk kepentingan kelompok (Machiavellisme).
II. Menimbang Alternatif
Kembalinya Gagasan Negara Serikat (Federalisme) di tengah kebisingan publik yang menuntut kembali ke UUD 1945 asli, muncul pemikiran alternatif penulis yang (bisa jadi) provokatif, namun memiliki dasar empirik-historis yang sah, Transformasi NKRI menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Meski ide ini tidak populer dan berisiko menghadapi resistensi status quo, gagasan RIS memiliki legitimasi konstitusional dalam sejarah Indonesia. Federalisme bukan berarti disintegrasi, melainkan upaya mendistribusikan keadilan secara proporsional.
III. Alasan Fundamental Peralihan ke Sistem RIS
Mengapa opsi RIS layak dipertimbangkan kembali setelah 80 tahun merdeka?
Kegagalan Distribusi Kesejahteraan, sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, tujuan teori bernegara adalah keadilan sosial. Realitasnya, sistem sentralistik seringkali membuat Pemerintah Pusat “memborong” hasil bumi daerah, yang memicu keterlambatan pembangunan di daerah karena ketergantungan pada komando pusat. Sehinggamembendung Monopoli Kekuasaan
Sistem federal memperkecil peluang lahirnya figur “penguasa tunggal” yang dominan secara nasional. Kekuasaan tersebar di negara-negara bagian, sehingga pengawasan (checks and balances) terjadi secara lebih organik dan kompetitif.
Efisiensi Ekonomi Daerah, Negara bagian memiliki otonomi penuh atas pendapatan dan kekayaan alamnya. Pusat hanya memegang kendali atas Pertahanan, Hubungan Luar Negeri, dan Moneter. Hal ini mendorong daerah untuk lebih mandiri, kreatif, dan kompetitif seperti model di Amerika Serikat, Australia, atau Malaysia.
IV. Kerangka Transisi Menuju Federasi yang Berkeadilan
Agar transisi dari NKRI ke RIS tidak menciptakan kesenjangan baru, diperlukan tanggung jawab moral dan kebijakan sistematis melalui Diskresi Politik-Ekonomi dengan metode Integrasi Wilayah Strategis:
Daerah yang secara ekonomi dinilai kurang mampu (daerah minus) dapat diintegrasikan ke dalam provinsi/negara bagian yang kaya berdasarkan analisis geofisika dan ekonomi yang matang.
Internasionalisasi Daerah Minus, Pemerintah pusat wajib menetapkan daerah tertentu sebagai zona transaksi bisnis internasional (model Singapura), guna menarik investor dan konglomerasi, sehingga daerah tersebut mampu mandiri secara finansial.
Solidaritas Antar-Negara Bagian, mewajibkan negara bagian yang kaya untuk memberikan subsidi silang atau bantuan pembangunan kepada daerah yang sedang berkembang dalam kerangka persatuan.
V. Penutup
Nasionalisme dalam Bingkai Teologis dan Pancasila
Mengubah bentuk negara menjadi RIS tidaklah melanggar nilai ketuhanan maupun nasionalisme.
Secara teologis, mengupayakan sistem yang lebih adil bagi rakyat adalah bentuk ibadah. Di bawah panji Pancasila, RIS justru bisa menjadi wujud nyata dari “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang selama ini sering kali hanya menjadi narasi di atas kertas.
Analisis serius penulis yang menjadi catatan khusus kepada sistim kontemporer, dampak dari miskinnya “Etika Politik” telah melahirkan gelar atau istilah “Anak Haram Konstitusi” sebuah cerminan keresahan publik terhadap rusaknya moralitas penyelenggara negara. Dengan sistem RIS, “syahwat” politik di tingkat pusat bisa diredam karena tiap daerah memiliki kedaulatan untuk memproteksi kepentingan rakyatnya masing-masing.
(ikhtisar/ abstrak topik): Kegelisahan atas sistem sentralistik yang cenderung melahirkan labirin kekuasaan (dinasti dan nepotisme) serta ketimpangan ekonomi daerah saatnya anak bangsa harus berani mempertahankan substansi pemikiran kritis dan “menghibahkannya” namun melulu mesti berbasis payung hukum dan memiliki damarkasi (berbatas) dengan cinta negara (nasionalisme sejati) dalam koridor “kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum”, baik lisan, tertulis, tertutup, dan ruang terbuka, merujuk rules dalam bingkai NRI yang tetap ‘idolai’ kehidupan demokrasi.
*) Penulis adalah Advokat- jurnalis-dan pakar ilmu “peran serta masyarakat dan kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum”.






























































































