Sabtu, 04/05/2024 - 13:46 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Generasi Sandwich dan Hutang

ADVERTISEMENTS

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hardiknas dari Bank Aceh Syariah

Oleh : Lida Puspaningtyas, Jurnalis Republika

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Hanya sandwich generation yang mengerti rasanya jadi sandwich generation. Generasi ini menjadi sangat rentan karena harus menanggung imbas dari lemahnya literasi keuangan generasi sebelumnya.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

Kita sebut saja Budi, pria usia 30 tahun yang belum menikah. Berkeinginan menikah tapi dana seret dan sering diputuskan pacar yang mundur karena statusnya sebagai generasi sandwich.

ADVERTISEMENTS
Selamart Hari Buruh

Penghasilan Budi digunakan untuk membayar hutang orang tuanya yang ratusan juta rupiah. Ya hutang ke bank, ke sanak saudara, kiri kanan tetangga, membiayai kakak adiknya. Orang-orang zaman sekarang menyebutnya sapi perah.

ADVERTISEMENTS
Top Up Pengcardmu Dimanapun dan Kapanpun mudah dengan Aplikasi Action

Tentu saja, kasus ini menjadi sangat kompleks. Dari sisi ekonomi, potensi produksi, konsumsi, dan investasi Budi akan berkurang. Ia jadi tidak bisa menjalankan aktivitas ekonomi pria umur 30-an yang tentu lebih besar dari konsumsi lansia.

ADVERTISEMENTS
PDAM Tirta Bengi Bener Meriah Aplikasi Action Bank Aceh

Dana yang ia hasilkan, harus digunakan untuk membayar aktivitas ekonomi orang tuanya yang sudah tidak produktif. Lebih parah lagi, hutang bank orang tua Budi kena malapetaka anuitas riba yang membuatnya jadi berkali-kali lipat dari pokok hutang.

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh
Berita Lainnya:
Dugaan Penganiayaan di Sekolah Pelayaran, Keluarga Korban Marah dan akan Tuntut Pihak STIP

Kalau sudah seperti ini, hanya bank yang diuntungkan. Dengan Budi membayar hutang maka rasio kredit bermasalah (NPL) bank membaik. Ia tidak lagi masuk jajaran kredit macet. Bank bisa kembali untung. Pribadi yang dihutangi orang tua Budi pun akhirnya bisa kembali melakukan aktivitas ekonomi yang sempat tersendat.

Secara makro, tumbuhnya kredit perbankan jadi tolak ukur pertumbuhan ekonomi. Padahal apanya yang bertumbuh? Budi tetap kehilangan dayanya untuk beraktivitas ekonomi secara riil. Berproduksi, konsumsi, dan investasi.

Budi seharusnya punya dua power dalam menumbuhkan ekonomi. Pertama dari sisi earning, kedua sisi spending. Ia menumbuhkan ekonomi hanya dari sisi earning, dengan bekerja, mendapatkan gaji, atau berwirausaha membuka lapangan kerja.

Tapi ia kehilangan satu daya spending-nya. Padahal seharusnya, aktivitas spending juga menumbuhkan perekonomian warganya.

Tentu saja, ini hanya dilihat dari satu sisi, yang juga tidak sempurna. Masih ada dimensi lain yang perlu dieksplorasi. Misal, dari sisi spiritualitas Islam. Bahwa memberi pada orang tua tidak akan merugi. Bahwa siapa tahu rezeki orang tua dititipkan melalui anak. Bahwa Allah akan mengganti berkali-kali lipat setiap sedekah yang dikeluarkan. Bahwa balasannya nanti tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Berita Lainnya:
Pengelolaan Limbah Lampu Bekas yang Mengandung Merkuri

Pada akhirnya, alasan ini yang punya potensi lebih besar seorang Budi bisa menyelesaikan masalah hutang orang tuanya. Dengan catatan, tanpa menanam masalah baru. Ini, hanya bisa dilakukan dengan literasi keuangan. Baik pada orang tua Budi, maupun Budi sendiri. Jangan sampai Budi membayar hutang orang tuanya dengan pinjol, atau dengan main judi online. Tidak ada perubahan dong, hanya akan melahirkan generasi sandwich lagi nantinya.

Itulah mengapa, literasi keuangan sangat fundamental untuk membangun negara yang maju dan besar. Negara yang maju dan besar itu bukan yang seperti Amerika Serikat, Eropa, Group of Seven. Melainkan, negara yang tidak punya kesenjangan ekonomi. Negara yang tidak punya orang miskin.

Memang? Ada, sekitar 1.300 tahun lalu. Saat kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz di Dinasti Umayyah, saat itu tidak ada orang yang berhak menerima bantuan sosial berupa zakat. Semuanya mampu, punya power ekonomi lengkap.

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi