Penulis: Muhammad Subarkah**
BAGI sebagian orang boleh saja menganggap remeh kekuatan rakyat kecil, seperti petani misalnya. Padahal sejarah mencatat perang Diponegoro hingga perang kemerdekaan adalah perang yang dilakukan oleh rakyat biasa, dalam hal ini sebagian besar adalah petani.
Penyebabnya jelas, rakyat kemudian berkumpul menjadi lasykar lalu melawan pihak yang dianggapnya sebagai biang keladi penderitaanya.
Salah satu contohnya, selain Diponegoro yang juga bisa dianggap perlawanan kaum tani, perlawanan yang sama tercatat dalam ‘Geger Cilegon’ atau dikenal juga sebagai pemberontakan petani di Banten pada 1888. Kala itu petani yang dikoordinasi para haji kekuatan kolonial yang membelenggunya.
Kisah ini terekam dalam tulisan Buya Hamka dalam buku Perbendaharaan Lama’ Kala itu rakyat di kawasan Cilegon yang terletak di bawah wilayah Bojonegara, wilayah Cilegon, bagian Anyer, Regentsachap (kabupaten) Serang. Hamka menulis begini:
“Kota” Cilegon dinamai menurut nama pasar yang ada di situ. Dan kota kecil itu baru saja ramai, yaitu sejak negeri Anyer musnah karena meletusnya Krakatau (1883), penduduk yang masih dapat memelihara nyawanya lari dan berpindah ke Cilegon. Dari Timur ke Barat, terbentanglah jalan raya yang terkenal, yang dibangun atas kehendak Gubernur Jendral Daendels, yang dibuat dari Serang sampai ke Anyer dan Caringin.
Di kota Cilegon, jalan itu disilangi pula oleh jalan raya, yang dibuat dari ibu negeri melalui ibu negeri wilayah Balagendong, sampai ke ibu negeri daerah Bojonegara. Di jalan itulah terletak sebuah desa kecil, bernama Beji. Di sanalah berdiam seorang Alim Besar bernama Haji Wasith!.
Sebagai juga Ulama-ulama yang lain di Bantam, Haji Wasith lama bermukim di Mekkah dan berlajar kepada Ulama-ulama yang besar di sana.. Apatah lagi seorang di antara Ulama yang masyhur di Mekkah itu, adalah putera Bantam sendiri, Syekh Nawawi Bantam. Banyak murid beliau, baik dari tanah Melayu atau tanah Sunda, apatah lagi putera Bantam sendiri. Dan banyak pula kitab yang beliau karang dalam bahasa Arab.
Di antara kawan-kawannya yang telah sama pulang, ialah H.Abdurrahman, Haji Haris, H. Arsyad Thawil, H.Arsyad Qashir, Haji ‘Akib dan Tubagus Haji Ismadl. Di antara kawannya yang sebanyak itu, adalah Tubagus Haji Ismail yang paling rapat dan kerapkali bertemu. Beliau berasal dari desa Gulacir, Kecamatan Balagendong, Kewedanan Kramatwatu, Wilayah Anyer Kabupaten Serang.
Di Cilegon itulah terjadi pemberontakan pada tahun 1888, dan Ulama-ulama itulah yang menjadi pemimpinnya.
Apa Sebabnya?
Sebagaimana diketahui, timbulnya suatu pemberontakan, bukanlah hal yang semata-mata timbul pada waktu itu. Pemberontakan biasanya ialah karena “bergantang terlalu penuh”, sehingga tidak tertahankan lagi. Demi apabila muncul pimpinan yang berani, lalu dicetuskannya, niscaya berontak akan menjadi, walaupun misalnya kekuasaan dapat mematahkannya.
Sejak jatuhnya pamor Kerajaan Bantam, sejak sisanya yang terakhir telah dihapuskan oleh Pemerintah Belanda terutama pada zaman G. J.Daendels, rasa kecewa penduduk telah bagai api dalam sekam, hangus tidak kelihatan.
Ulama-ulamapun insaf, bahwa jika Sultan Bantam masih ada belum terjamin 100% bahwa peraturan agama akan dapat berjalan. Ulama yang bebas berfikir akan melihat dan merasa juga, bahwa sisa-sisa adat Hindu Pajajaran masih ada dalam istana. Tetapi Kerajaan Bantam, dengan kemegahan zaman bahari, sebagai suatu kerajaan yang pernah ternama ke atas angin, dikenal oleh Sultan Turki, oleh Syarif Mekkah, oleh Raja Hindustan sebagai sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat, sekarang (1888) telah bertukar belaka.
Raja tak ada lagi, anak cucunya telah dibuang. Yang naik adalah Regen-regen yang menjadi alat perkakas Belanda. Maka rakyat yang masih teringat kepada kebesaran rajanya yang hilang itu, mencarilah perlindungan rohani kepada Ulama.
Ulama mengajarkan, bahwa kemuliaan Islam akan kembali dengan jayanya, asal saja Kaum Muslimin benar-benar memegang teguh ajaran Agama Islam. Mengokohkan Tauhid dan menghilangkan pengaruh Syirik, memperserikatkan Allah dengan yang lain.