oleh: Andre Notohamijoyo, Pemerhati Pembangunan, Anggota Indonesia Environmental Scientists Association (IESA)
Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1445 H tahun ini, Pemerintah sibuk menangani persiapan mudik lebaran mulai dari cuti bersama, arus mudik/arus balik hingga jalur alternatif untuk mengurai kemacetan yang terjadi. Arus mudik tahun 2024 ini diprediksi melampaui tahun lalu. Kementerian Perhubungan memperkirakan puncak arus mudik Lebaran tahun 2024 akan terjadi pada 8 April 2024 dengan total potensi pergerakan masyarakat di masa mudik mencapai 193,6 juta orang.
Moda transportasi pilihan masyarakat adalah Kereta Api (39 juta orang atau 20,3 %), Bus (37 juta orang atau 19,37 %), Mobil Pribadi (35 juta orang atau 18,29 %) dan Sepeda Motor (31 juta orang atau 16,07 %), Pesawat (10,9 juta orang atau 5,67 %) dan Kapal Penyeberangan (10,6 juta orang atau 5,50 %). Mobil pribadi di tahun 2024 ini diperkirakan tidak lagi menjadi pilihan utama masyarakat yang melakukan perjalanan mudik sebagaimana tahun 2023 yang mencapai 22,7 persen dari total pergerakan. Peningkatan arus mudik telah terjadi sejak hari Jumat, 5 April 2024 yang merupakan hari terakhir masuk kerja bagi sebagian besar karyawan swasta maupun pegawai pemerintah.
Mudik merupakan hal yang lazim dilakukan masyarakat Indonesia dan menjadi sebuah tradisi kultural yang telah berjalan puluhan tahun di Republik ini. Selain sebagai tradisi kultural, mudik juga dianggap sebagai ajang distribusi ekonomi secara lebih menyeluruh. Saat mudik, para pemudik tidak hanya membawakan oleh-oleh atau buah tangan bagi orang tua dan keluarga di kampung halaman namun juga membelanjakan uangnya untuk berbagai aktifitas seperti kuliner, belanja, wisata, sedekah dan berbagi rejeki seperti pemberian tunjangan hari raya (THR) pada keluarga, handai taulan dan lainnya.
Mudik akan terus menjadi tradisi dan wajah budaya masyarakat Indonesia. Berbagai negara di dunia juga mengenal tradisi mudik seperti China, India bahkan Amerika Serikat. Penelitian dari Jinsheng Jason Zhu dan David Airey (2021) menunjukkan bahwa keterikatan tempat (rasa nostalgia), transnasionalisme, konektivitas budaya dan rekonstruksi identitas diri hibrida merupakan faktor yang membentuk motivasi mudik bagi masyarakat Tionghoa perantauan.
Hal yang menarik dari mudik di Indonesia adalah sebagian besar arus mudik terpusat di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi atau biasa disebut Jabodetabek. Hal ini merupakan fenomena yang telah terjadi lebih dari 40 tahun yang lalu. Berbagai liputan media cetak dan elektronik (dan sekarang media sosial) sejak dahulu memberitakan tentang arus mudik/arus balik saat libur Lebaran yang tidak berubah jalur daratnya yaitu jalur Pantai Utara (Pantura), selatan pulau Jawa serta penyeberangan Merak-Bakaheuni. Liputan ditambah dengan jalur penyeberangan Jawa-Madura (sekarang jembatan Suramadu), penyeberangan laut Ketapang-Gilimanuk, Jakarta-Sulawesi, Jakarta-Kalimantan atau sebaliknya.
Fenomena ini merupakan cerminan dari distribusi pembangunan yang tidak merata. Distribusi pembangunan selama ini dipandang tidak merata khususnya antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah distribusi pembangunan tersebut melalui berbagai pembangunan infrastruktur di luar Jawa, Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan mobilitas dan logistik di daerah luar Jawa. Meskipun demikian, dampak dari pembangunan infrastruktur tersebut belum terlihat sehingga lalu lintas masyarakat terbesar masih terletak di sekitar wilayah Jabotabek plus Karawang, Subang, Cianjur dan Sukabumi.
Luas wilayah Jabodetabek sebesar 6.437,89 km2. Luas tersebut hanya sebesar 0,34% dari luas keseluruhan wilayah daratan Indonesia. Di wilayah Jabodetabek tersebut, jumlah penduduknya mencapai hampir 30 juta jiwa atau sekitar 11% dari jumlah penduduk Indonesia dengan tingkat kepadatan tertinggi di Jakarta Pusat (Kemendagri: 2022). Ini menjadikan Jabodetabek merupakan wilayah terpadat penduduknya di Indonesia!.