PADA hari itu 28 Agustus 2025 terjadi demonstrasi serikat buruh yang membawa enam tuntutan yakni hapus outsourching dan tolak upah murah, stop PHK, reformasi pajak perburuhan, sahkan RUU Ketenagakerjaan tanpa omnibus law, sahkan RUU Perampasan aset dan revisi RUU Pemilu.
Namun beranjak siang para ‘tuan’ dari kalangan buruh membubarkan diri. Setelah itu, gelombang massa dari kalangan mahasiswa dan massa berseragam sekolah berdatangan ke sekitar gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tempat para ‘pelayan’ demokrasi berkantor.
Mereka menuntut pembubaran DPR serta pencabutan tunjangan anggota dewan yang berlebihan.
Area depan rumah susun Bendungan Hilir II, Jakarta Pusat, menjadi saksi pembunuhan ‘Tuan’ oleh ‘pengawal’-nya sendiri demi melindungi ‘pelayan’ demokrasi.
Saat demonstrasi berubah menjadi ricuh, mobil Rantis Brimob melindas pengemudi Ojol yang jatuh di tengah jalan. Pengemudi Ojol bernama Affan Kurniawan adalah rakyat yang berkedudukan sebagai ‘tuan’ dalam sistem pemerintahan demokrasi.
Pembunuhan itu berlangsung di hadapan publik, disiarkan secara langsung oleh berbagai saluran media informasi.
Setelah pembunuhan itu, permohonan maaf mengalir dari ‘pelayan’ di istana negara. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyesali insiden tersebut dan meminta maaf sebesar-besarnya.
Demikian juga kepala ‘pengawal’ Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan maaf sekaligus menjanjikan untuk segera mengambil langkah penanganan.
Sementara dari markas para ‘pelayan’ di Senayan, di mana rakyat gagal menemukan mereka pada hari itu untuk menyampaikan aspirasinya, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyampaikan duka cita mendalam atas kepergian ‘tuan’ driver ojek online yang menjadi korban rantis Brimob.
Si ‘pelayan’ ini mengimbau ‘pengawal’ yaitu personel aparat keamanan agar lebih santun menghadapi aksi dari massa.
Beginilah kira-kira dagelan yang selalu disuguhkan ke hadapan ‘tuan-tuan’ pemilik kedaulatan yang sedang murka.
Ketika gelombang kritik rakyat terhadap DPR mengalir kian deras sementara respon para ‘pelayan’ sangat mengecewakan. Di tengah kondisi ekonomi yang demikian sulit, para ‘pelayan’ berjoged di Gedung Parlemen, dilimpahi kehidupan mewah dengan beraneka tunjangan dengan angka fantastis.
Hasil pemantauan percakapan di media sosial sepanjang 16-26 Agustus 2025 oleh Litbang Kompas menunjukkan mayoritas publik menolak wacana kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR.
Dari seluruh percakapan, sentimen negatif mendominasi hingga 88,9 persen jauh mengungguli sentimen netral sebesar 9,4 persen dan positif 1,7 persen.
Fenomena ini secara tidak langsung memperlihatkan jarak yang menganga antara kehendak rakyat dan perilaku politik ‘pelayan’ rakyat di parlemen.
Konsistensi tren data yang sarat sentimen negatif menandakan bahwa krisis kepercayaan terhadap DPR kian akut. Gelombang kritik bukan sekadar perdebatan digital melainkan peringatan keras karena kemurkaan dari sang ‘tuan’.
Para politikus anggota DPR sedang menuai benih kesombongannya, ketika rakyat hadir bersuara. Di hadapan gedung parlemen mereka dihalau para ‘pengawal,’ mulai terjadi kontak hingga akhirnya ricuh.
Seperti biasa, ada konflik pasti ada korban. Ketika korban mulai jatuh, maka kebencian akan beralih dari gedung DPR tempat para ‘pelayan’ menjadi kebencian kepada aparat.
Anggota dewan dapat tersenyum lega, karena esoknya seluruh perhatian, cacian, fokus telah beralih ke arah yang berbeda. End Game.
Pagi ini Gedung DPR tampak biasa meski masih dijaga, sepi karena massa Ojol di DPR bergeser ke Markas Brimob di Kwitang. Begitulah polanya dan telah terjadi bertahun-tahun.
Sementara dari tempat kedudukannya Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan belasungkawa terhadap korban insiden driver ojek online yang dilindas Rantis Brimob seraya meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas insiden tersebut.
Apa yang kita pelajari dari pola ini?
Ternyata rakyat bukan ‘tuan’ melainkan objek yang diperalat. Slogan kedaulatan milik rakyat adalah slogan ompong, palsu dan penuh kebohongan.
Suara rakyat hanya dibutuhkan ketika mereka sedang berjuang untuk duduk di Senayan, setelah berkuasa anggota dewan tak berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif, mereka malah bersekutu dengan eksekutif menindas rakyat.
Presiden memanjakan anggota DPR dengan menaikkan anggaran untuk membiayai kegiatan politik para politikus sebesar hampir 50 persen dalam budget tahun 2026 menjadi lebih dari Rp 9 triliun.
Tak peduli bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan kebijakan efisiensi yang telah digembar-gemborkan. Lalu para ‘pelayan’ itu menunjuk dan mencibir rakyat sebagai ‘tolol dan bego’. Mereka lupa bahwa para ‘tolol dan bego’ ini lah yang membayar pajak untuk menggaji mereka.
Demokrasi sudah mati
Frasa “demokrasi membunuh dirinya sendiri” nyata adanya ketika fenomena kemunduran telah tampak sempurna.
Penyalahgunaan wewenang, pembatasan kebebasan, pelanggaran hak asasi manusia, manipulasi media dan korupsi menggurita. Semua ada di depan mata, mari kita bahas tipis-tipis.
Di mulai dari persiapan sempurna dari DPR untuk menolak rakyat menyampaikan aspirasinya, pagar dilumuri oli sebelum 25 Agustus, aparat bersiaga.
Driver Ojol dilindas begitu saja, seakan nyawa manusia tak ada nilainya, sementara Wakil Menteri Komunikasi dan Digital memanggil platform Tik Tok dan Meta untuk membendung informasi tersebar luas.
Sedangkan Presiden memberikan tanda kehormatan kepada pelaku korupsi dan pelanggar hak asasi manusia.
Dagelan
Inilah drama yang berkisah tentang ‘tuan,’ ‘pengawal,’ dan ‘pelayan.’ Telah tiba waktunya kita kembali kepada Islam, yang memuliakan manusia sebagai hamba, sebagai pelaksana kedaulatan, bukan pemilik kedaulatan.
Karena kedaulatan adalah milik Allah SWT. Telah tiba saatnya kita mengubah pola pikir tentang “personal change” yang sekedar mengganti orang menuju ke “system change”.
Agar kisah-kisah semacam ini tak lagi membebani generasi mendatang. Mereka berhak atas keadilan dan kemuliaan yang itu hanya dapat dihadirkan oleh Islam.































































































