OLEH: DJONO W OESMAN
MEDIA massa sulit mengabaikan berita polisi tembak polisi. Karena kuasa hukum korban, terus bercerita. Terbaru, tentang locus delicti dan tempus delicti. Itulah pondasi kasus ini.
Tak dinyana, kuasa hukum keluarga korban Brigadir Nofriansah Yosua Hutabarat, Komaruddin Simanjuntak, sangat gigih. Ia gencar memberikan keterangan pers terkait perkara ini. Selalu ada yang baru.
Terpenting, Komaruddin menyoal locus delicti dan tempus delicti. Atau, tempat kejadian perkara dan waktu kejadian perkara. Dalam pengungkapan perkara pembunuhan, inilah pondasi perkara.
Artinya, Komaruddin tidak percaya dengan keterangan resmi Polri. Dan, sudah terpublikasi. Bahwa locus delicti di rumah dinas Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo, Komplek Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan.
Tempus delicti, Jumat, 8 Juli 2022 sekitar pukul 17.00.
Komaruddin: “Tindak pidana ini diduga terjadi Jumat, 8 Juli 2022 antara pukul 10.00 pagi sampai dengan pukul 17.00. Locus delicti-nya adalah kemungkinan besar antara Magelang dan Jakarta. Itu alternatif pertama. Alternatif kedua, locus delicti-nya di rumah Kadiv Propam Polri atau rumah dinas di Duren Tiga, Kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.”
Jadi, locus delicti, lebar. Tempus delicti, panjang.
Dasar pernyataan Komaruddin adalah keterangan orang tua Yosua: Ayah, Samuel Hutabarat dan ibunda, Rosti Simanjuntak yang guru SD di Jambi.
Pada Jumat, 8 Juli 2022 Ortu berkomunikasi telepon dengan Yosua. Ortu di Balige, Sumatera Utara. Yosua di Magelang, Jawa Tengah. Yosua mengawal keluarga Irjen Ferdy Sambo, mengurus sekolah anak di SMA Taruna Nusantara, Magelang.
Komaruddin: “Waktu itu pihak keluarga sedang berziarah di Balige. Telepon WA dengan anak klien kami Yosua di Magelang. Itu Jumat, 8 Juli 2022 pukul 10.00.”
Yosua mengatakan lewat telepon, ia sebentar lagi berangkat ke Jakarta. Maka, ia meminta, agar ortunya jangan menelepon atau kirim pesan WA. Sampai sekitar tujuh jam ke depan. Sebab, tidak etis ketika Yosua bertugas menerima telepon atau pesan dari Ortu.
Kata “tujuh jam ke depan”, karena Yosua memperkirakan perjalanan Magelang-Jakarta, naik mobil, sekitar durasi itu.
Pihak keluarga menuruti permintaan Yosua. Mendukung pekerjaan Yosua, agar fokus melaksanakan tugas. Tapi, pihak keluarga berjanji akan menelepon lagi sekitar tujuh jam kemudian.
Persis pukul 17.00 (tujuh jam kemudian) pihak keluarga menelepon Yosua lagi. Tidak bisa. Bukan telepon tidak diangkat Yosua, atau koneksi tidak tersambung. Tidak. Melainkan tidak bisa.
Komaruddin: “Tidak bisa, karena di-WhatsApp ternyata sudah terblokir. Dengan terblokirnya nomor-nomor mereka, baik nomor ayahnya, ibunya, termasuk kakak-adiknya, termasuk ke WhatsApp group keluarga, terblokir. Maka keluarga mulai gelisah. Karena, hal itu sangat aneh.”
Dilanjut: “Kemudian pemblokiran berlanjut. Semua handphone keluarga, ayah-ibunya, handphone Yosua, kakak-adiknya, semua handphone tidak bisa dipakai. Mati, tidak bisa dipakai. Bersamaan. Bukan kehabisan batre, ya… Mati, selama kurang-lebih seminggu, barulah kemudian nyala lagi.”
Itu sebab, begitu jenazah Yosua diantarkan tim polisi dari Jakarta ke Jambi dengan pesawat kargo, begitu jenazah tiba di rumah duka, Selasa, 12 Juli 2022, pihak keluarga langsung bertanya ke polisi pengantar jenazah: HP Yosua mana?
“Dijawab polisi, hilang,” kata Samuel Hutabarat, ayah Yosua kepada wartawan.
Apalagi, kata Samuel Hutabarat, tim polisi pengantar jenazah, melarang pihak keluarga membuka peti jenazah. Membuat pihak keluarga semakin penasaran. Nekat peti dibuka. Jenazah diperiksa. Difoto, direkam video HP. Hasilnya, kondisi jenazah dikatakan Komaruddin begini:
Komaruddin: “Fakta di jenazah anak klien kami, bukan hanya luka tembak saja. Tetapi banyak luka sayatan, luka memar. Bahkan bahunya bergeser hingga giginya rusak. Rahangnya bergeser.”
Dirinci: Luka sayat di bawah mata. Luka di hidung, sudah dijahit, dua jahitan. Luka sayat di bibir dan leher. Luka menganga terbuka di bahu kanan. Memar di rusuk. Jari tangan terpotong, jari kaki tersayat. Tulang rahang bergeser, gigi rusak.