Minggu, 19/05/2024 - 11:23 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

LIFESTYLE

Terbiasa Puasa Intermiten, Orang Berisiko Binge-Eating di Kemudian Hari

Puasa intermiten tampak memengaruhi kebiasaan makan sehat di masa depan.

ADVERTISEMENTS
QRISnya satu Menangnya Banyak

JAKARTA — Puasa intermiten alias intermitten fasting telah menjadi strategi penurunan berat badan yang populer selama dekade terakhir. Namun, sebuah studi baru dari Texas A&M University yang diterbitkan dalam jurnal Appetite menunjukkan bahwa hal itu dapat meningkatkan risiko binge-eating dan gangguan makanan lainnya di kemudian hari.

ADVERTISEMENTS
Bayar PDAM menggunakan Aplikasi Action Bank Aceh Syariah - Aceh Selatan

Binge-eating berarti menyantap makanan dalam porsi besar secara teratur dalam waktu singkat sampai merasa begah. Penulis studi, Jordan Schueler yang merupakan kandidat PhD di Departemen Ilmu Psikologi dan Otak di Texas A&M, mulai mengembangkan studi baru pada 2019.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat & Sukses ada Pelantikan Direktur PT PEMA dan Kepala BPKS

Schueler mengatakan bahwa tidak banyak informasi tentang efek psikologis puasa intermiten. Namun, ada dampaknya pada hasil medis seperti berat badan dan kolesterol.

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hardiknas dari Bank Aceh Syariah

“Saya tertarik untuk melihat apakah bentuk khusus dari diet terbatas waktu ini, di mana orang mungkin mengabaikan isyarat lapar untuk waktu yang lama, juga dapat menyebabkan makan berlebihan,” ujar Schueler, dilansir Fox News, Ahad (5/2/2023).

ADVERTISEMENTS
PDAM Tirta Bengi Bener Meriah Aplikasi Action Bank Aceh
Berita Lainnya:
Kelamaan Main Gadget, Mengapa Anak Malah Jadi Tantrum?

Ada beberapa jenis puasa berkala. Tetapi semuanya mengikuti konsep yang sama, yaitu bergantian antara puasa dan makan.

ADVERTISEMENTS
Top Up Pengcardmu Dimanapun dan Kapanpun mudah dengan Aplikasi Action

Dengan pendekatan makan yang dibatasi waktu, pelaku diet hanya bisa mengisi perut selama jendela tertentu. Misalnya, dengan metode 16/8, orang tersebut berpuasa selama 16 jam dan kemudian dapat makan dalam rentang waktu delapan jam antara pukul 10.00 hingga pukul 18.00 WIB.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA

Para peneliti yang terlibat dalam studi baru mencermati sampel dari hampir 300 mahasiswa sarjana. Di antara peserta, 23,5 persen saat ini berpartisi dalam puasa intermiten, 16 persen pernah mencoba puasa intermiten, dan 61 persen tidak pernah puasa intermiten sebelumnya.

ADVERTISEMENTS

Mereka yang pernah puasa intermiten di masa lalu tampak lebih mungkin untuk terlibat dalam binge eating daripada mereka yang tidak pernah berpuasa intermiten. Schueler mengatakan apa pun yang memaksa tubuh ke dalam pola makan yang tidak normal memiliki potensi untuk gangguan makan.

ADVERTISEMENTS

“Salah satu penjelasannya adalah bahwa mereka yang secara aktif terlibat dalam puasa intermiten mungkin masih bisa ‘berhasil’ terlibat dalam kekakuan dan pengendalian diri seputar perilaku makan mereka,” katanya.

Berita Lainnya:
Tips Redakan Batuk dan Pilek pada Anak, Ini 5 Tindakan yang Perlu Dilakukan Orang Tua

Namun, menurut Schueler, mengalami rebound effect setelah pembatasan kalori yang parah, di mana makan berlebihan terjadi, memang hal lazim. Temuan timnya menunjukkan bahwa meskipun puasa intermiten tampaknya menjadi faktor risiko untuk makan berlebihan saat seorang secara aktif terlibat dalam diet, itu mungkin memiliki efek yang bertahan lama pada hubungan seseorang dengan makanan.

Dilansir RxList, rebound effect adalah produksi gejala negatif yang meningkat ketika efek terapi telah berlalu atau pasien tidak lagi merespons suatu terapi. Studi ini juga menemukan bahwa puasa intermiten cenderung tidak menyesuaikan dengan rasa lapar internal dan isyarat kenyang.

Puasa intermiten cenderung memberi pelakunya lebih sedikit izin untuk makan. Dengan kata lain, menurut Schueler, puasa intermiten jauh dari pemakan intuitif.

“Daripada mengandalkan persepsi bawaan tubuh mereka, asupan mereka ditentukan oleh aturan eksternal,” kata Schueler.

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi