Oleh Nurfahmi Budi Prasetyo/ Pengamat Kebijakan Publik Digital Politik
Kemiskinan selalu menjadi isu sentral di berbagai negara, termasuk Indonesia. Negara tentunya berkewajiban untuk mengentaskan problem kemiskinan tersebut.
Secara teori, kemiskinan dapat diartikan ketidakmampuan perorangan atau kelompok membeli barang kebutuhan dasarnya, seperti makanan, pakaian, obat. Dengan ukuran kemamuan membeli kebutuhan dasar ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan menentukan pula tingkat kesejahteraan suatu bangsa.
Saat ini, dalam konteks upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dikenal pula istilah kemiskinan ekstrem. Kemiskinan ekstrem diletakkan dalam ukuran-ukuran yang lebih mendasar lagi, yakni kondisi ketika masyarakat tak mampu memenuhi kebutuhan yang lebih fundamental bagi kehidupan individu masyarakat, selain makanan, juga air bersih, sanitasi layak, tempat tinggal, pendidikan, akses informasi, dan layanan sosial.
Kemiskinan ekstrem ini menjadi perhatian khusus pemerintahan Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi menargetkan agar tingkat kemiskinan semakin diperkecil. Dalam rapat terbatas Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) tahun 2024 yang digelar Februari 2023 lalu, Presiden Jokowi bahkan menginginkan angka kemiskinan tahun depan adalah nol persen!
Target nol persen ini mungkin sesuatu yang bisa menjadi perdebatan. Namun persoalan pengentasan kemiskinan harus selalu menjadi prioritas dari pemerintah meskipun berganti kepemimpinan. Perlu diakui bahwa kinerja pemerintahan Joko Widodo saat ini memberi hasil baik daam upaya menurunkan kemiskinan.
Bank Dunia mencatat hingga pertengahan 2023, pemerintahan Jokowi mampu menurunkan angka kemiskinan 1,5 persen. Sedangkan Data Badan Pusat Statistik merilis bila tingkat kemiskinan September 2022 menurun 0,14 persen dibandingkan September 2021. Dari data pemerintah, kemiskinan Maret 2021 berada pada angka 2,14 persen dan menurun di bulan yang sama 2022 menjadi 2,04 persen.
Salah satu peran penting menekan angka kemiskinan dilakukan oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Hal ini selaras dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Dalam Inpres tersebut Presiden Jokowi menugaskan secara khusus Kemenko PMK agar mentapkan langkah prioritas dan target pencapaian penghapusan kemiskinan ekstrem, menetapkan kebijakan sumber dan jenis data, penyiapan data penerima, penetapan pedoman umum program, koordinasi, sinkronisasi, pengendalian, dan evaluasi program.
Tugas yang diemban Menko PMK Muhadjir Effendy bukanlah perkara mudah tentunya. Tetapi apapun tantangannya, tanggung jawab negara harus dituntaskan. Menko Muhadjir merespon scepat dengan segera meminta agar tercipta integrasi antar program kementerian dan lembaga pemerintah lainnya dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan tersebut sehingga tepat sasaran, fokus, koordinatif dan akseleratif.
Kemenko PMK juga dapam pelaksanaan kebijakan ini juga melibatkan tak hanya lembaga pemerintah, namun juga lembaga masyarakat sipil. Di antaranya, kampus, lembaga riset, LSM, organisasi sosial masyarakat, komunitas warga dan ekonomi kreatif.
Strategi dan langkah lanjut yang dijalankan Menko Muhadjir ini dinilai sudah cukup tepat. Problemnya selama ini adalah aspek koordinatif antara kementerian dan lembaga dalam memastikan kebijakan negara khususnya dalam pengentasan kemiskinan ini dilaksanakan secara terpadu dan konkret serta melibatkan berbagai institusi terkait termasuk pemerintan daerah dan masyarakat sipil serta masyarakat ekonomi sekaligus.
Menekan angka kemiskinan tidak dapat dilakukan secara individual atau mengedepankan ego sektoral, apalagi akhirnya hanya terjebak pada jargon semata. Tanpa kerja sama semua pihak maka cita-cita menuntaskan kemiskinan di Indonesia hanya ‘isapan jempol’.
Jelang akhir 2023 ini berbagai program dalam mengentaskan kemiskinan telah dilakukan Kemenko PMK. Program-program yang menyasar masyarakat miskin langsung dikoordinasikan oleh Kemenko PMK, antara lain jaminan sosial, bantuan sosial, subsidi tepat sasaran, pelatihan kewirausahaan, beasiswa pendidikan, renovasi rumah tidak layak huni, serta perbaikan sanitasi dan lingkungan.