Minggu, 28/12/2025 - 03:03 WIB
PILIH BAHASA:
[language-switcher]

UPDATE

OPINI
OPINI

RUU Kesehatan Disahkan Siapa yang Diuntungkan?

RESMI. DPR RI telah mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-undang dalam rapat paripurna masa persidangan V Tahun 2022-2023 pada Selasa 11 Juli 2023, meskipun hal ini mendapatkan penolakan dari Partai Demokrat dan PKS.

Menurut laman kesehatan pemerintahan RI urgensi rancangan RUU Kesehatan tersebut disahkan ada beberapa poin. Pertama, dalam rangka memperkuat dan membenahi sistem kesehatan paska pandemi Covid 19 untuk siap menghadapi pandemi berikutnya. Kedua, selain itu, buruknya sistem pelayanan kesehatan telah mempersulit akses ke dokter dan layanan kesehatan. Tidak heran jika pasien BPJS harus antri berhari-hari untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, ini dikarenakan terbatasnya jumlah tenaga kesehatan. Ketiga, buruknya sistem layanan kesehatan membuat kalangan tertentu memilih berobat ke luar negeri dan menghabiskan devisa 160 triliun per tahunnya. Jika seperempat devisa itu tidak keluar, maka dampak ekonominya akan mempengaruhi Indonesia, salah satunya adalah membuka lapangan pekerjaan. Keempat, ada 10 Undang-undang terkait kesehatan saat ini sehingga terjadi overlapping dan saling bertentangan. Dalam pelaksanaan Undang-undang tersebut tidak maksimal. Dengan adanya Undang-undang kesehatan peraturan akan lebih ramping dan menghilangkan pertentangan Undang-undang yang ada.

Disahkannya Undang-Undang Kesehatan tidak hanya mendapat penolakan dari beberapa fraksi tapi juga mengundang reaksi penolakan dari sejumlah tenaga medis dan kesehatan. Bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti yang penulis kutip dari laman kompas.tv, Kamis (13/7/23) yang menyebutkan, Benarkah berbagai argumentasi-argumentasi tersebut sebagai langkah bijak untuk perbaikan pelayanan kesehatan?

Menurut Direktur Indonesia Justice Monitor, Agung Wisnu Wardhana merespon pengesahan UU Kesehatan menilai jika hal ini bentuk pengalihan tanggung jawab pembiayaan kesehatan dari negara kepada rakyat. Dalam sebuah program acara aspirasi. Selasa (12/7/23) di kanal YouTube Justice Monitor.

Hal yang sangat dikhawatirkan ketika pengalihan sistem pembiayaan kesehatan dari negara ke tangan rakyat yaitu akan terjadi pergeseran jika kesehatan tidak lagi menjadi skala prioritas, tergeser dengan kepentingan-kepentingan lainnya, baik di level nasional dan juga daerah seperti disebutkan di laman theconversation.com, Rabu (5/7/23). Bukan tidak mungkin negara akan mempersilahkan bagi siapa saja yang ingin menanamkan modalnya sebagai pembiayaan dibidang jasa kesehatan karena negara tidak lagi memberikan kewajibannya sebesar 5 persen di bidang kesehatan.

Sehingga dibukanya gerbang pembiayaan bagi pemodal membuat pelayanan kesehatan bisa diintervensi bahkan dikapitalisasi sesuai keinginan pemodal. Kesehatan bukan lagi sebagai bentuk pelayanan melainkan fasilitas mencari keuntungan. Padahal jika berbicara tentang kesehatan ini merupakan perkara hidup dan matinya seseorang bagaimana bisa negara berlepas tangan? Lantas menyerahkannya kepada mekanisme pasar.

UU Kesehatan Disahkan Taipan Ketiban Cuan

Terbukti paska disahkan UU Kesehatan oleh DPR RI ada beberapa taipan Rumah Sakit mereguk keuntungan dengan kenaikan emiten saham mereka di bursa saham tanpa basa-basi. Sebut saja ada PT Anugerah Sejahteraraya Tbk, Siloam Internasional Hospital, PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk, dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk seperti dikutip dari laman cnbcindonesia.com, Rabu (12/7/23)

Berita Lainnya:
PIP Berubah Jadi Kartu Undangan Kampanye Anggota DPR

Notabennya mereka adalah para konglomerat yang paling diuntungkan dalam UU Kesehatan setelah ketok palu. Karena memiliki kekuatan secara finansial serta sumber daya besar untuk memanfaatkan peluang yang ditawarkan UU ini. Seperti yang pertama, meningkatkan tingkat okupansi (hunian) berupa fasilitas layanan kesehatan yang memadai. Kedua, mampu merekrut dokter-dokter handal baik itu yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri.

Tak pelak apabila nantinya jasa layanan kesehatan akan diperjualbelikan. Para tenaga medis akan dipaksa terlibat persaingan baik itu di dalam maupun dengan mereka yang berasal dari luar. Pun, akan memilih bekerja di tempat yang lebih memberikan jaminan kesejahteraan mereka ketimbang mendedikasikan diri melayani kesehatan masyarakat karena tidak adanya jaminan dari negara.

Lalu siapa yang mampu mengakses fasilitas dan layanan kesehatan yang memadai tersebut. Mengingat cost (biaya) yang dikeluarkan tidak akan lagi murah akibat dikapitalisasi. Jawabannya sudah barang tentu kalangan orang-orang berkantong tebal. Ditambah lagi layanan dan fasilitas ini masih tersebar di sebagian besar pulau Jawa saja. Orang-orang kaya ini tidak perlu lagi berobat jauh-jauh ke luar negeri karena sudah mendapatkannya di negeri sendiri.

Bagaimana dengan rakyat kecil serta daerah yang terkategori 3t (tertinggal, terdepan dan tertular)? Indikasi-indikasi inilah yang menegaskan bahwa UU Kesehatan sangat kental dengan aroma liberalisasi. Penguasa lebih berpihak kepada para swasta yang berinvestasi di bidang kesehatan ketimbang kepada rakyat kecil yang hanya bisa mengandalkan kartu saktinya untuk memperoleh layanan kesehatan seadanya. Benarlah jika ada pepatah yang mengatakan, orang miskin dilarang sakit. Sedangkan di lain sisi kebutuhan hidup makin mahal dan kemiskinan ekstrem kerap terjadi.

Sangat tidak bijak jika mengatakan UU kesehatan ini adalah dalam rangka penyetaraan layanan kesehatan. Mengambil contoh masih minimnya keberadaan dokter spesialis saraf di Indonesia hanya memiliki sekitar 500 orang dokter saja. Seyogyanya bukan menambah tenaga yang berasal dari luar atau memaksa mereka untuk bersaing tetapi negara harus meng-upgrade dokter-dokter yang lainnya untuk menjadi tenaga ahli tersebut.

Kenyataan yang lain adalah kurangnya sebaran tenaga ahli baik dokter, bidan dan nakes di wilayah yang masuk ke dalam kategori 3t. Permasalahannya adalah jika pemerintah hari ini tidak mau bertaruh soal anggaran karena dianggap sangat memberatkan APBN.

Berita Lainnya:
Bea Cukai Turunkan Relawan Kloter Kedua untuk Perkuat Penanganan Bencana di Aceh Tamiang

Wajar, dalam sistem kapitalisme pemerintah akan senantiasa pelit alias itung-itungan jika itu menyangkut dengan urusan rakyat. Penguasa hanya bertindak sebagai regulator, sebatas menerbitkan kebijakan-kebijakan sedangkan pelaksanaanya diserahkan pada pengusaha. Jelas jika ini adalah kebijakan dhalim.

Pelayanan Kesehatan, Visi Politis Dalam Sistem Islam

Ada beberapa masalah yang harus dibenahi agar problem kesehatan berjalan tepat sesuai aturan Islam.

Pertama, merekonstruksi paradigma jika kesehatan adalah bentuk pelayanan dasar publik yang wajib diberikan oleh negara tanpa pandang bulu baik kepada orang kaya maupun warga miskin bukan mencari keuntungan. Sama halnya seperti pendidikan dan keamanan. Sebagaimana disampaikan dalam hadits Rasulullah SWT, yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah – olah dunia telah menjadi miliknya”. (HR Bukhari).

Negara dalam hal ini adalah daulah Islam bertanggung jawab menyediakan fasilitas layanan kesehatan yang memadai seperti ketersediaan rumah sakit, klinik atau bahkan Puskesmas tidak hanya di pusat kota tapi juga harus bisa menjangkau ke ke pelosok-pelosok daerah. Berikut dengan sebaran tenaga medis baik dokter (umum/spesialis), bidan dan para nakes sangat diperhatikan tidak boleh sampai terjadi kekurangan. Kemudian negara harus menjamin ketersediaan obat-obatan, peralatan medis serta lain sebagainya.

Untuk mengadakan itu semua Daulah akan melakukan pembiayaan berkelanjutan yang diambil dari kas Baitul mal dari pemasukan pengelolaan sumber milik umat, seperti barang-barang tambang. Kondisi ini yang akan menutup masuknya para investor dalam mengkapitalisasi layanan jasa kesehatan. Serta tidak ada lagi istilah kekurangan dokter spesialis karena kendala biaya untuk menjadi seorang tenaga ahli sangat mahal. Daulah Islam akan memberikan segenap kemudahan-kemudahan dari sisi pelayanan pendidikan yang murah bahkan gratis. Tidak hanya itu, negara juga harus menerapkan sistem ekonomi berbasis pada syariat Islam agar mengantarkan umat pada kesejahteraan.

Sebab problem kemiskinan akibat diterapkannya ekonomi kapitalis selalu linier dengan kesulitan yang didapatkan oleh rakyat hari ini. Tidak hanya kesulitan mendapatkan layanan kesehatan tapi juga pendidikan dan masalah kemanan.

Sayangnya semua ini hanya bisa diselenggarakan ketika aturan Islam yang berasal dari Allah dan Rasulnya saja yang diterapkan. Janganlah kaum muslimin terperdaya pada mereka yang seolah-olah berbuat kebaikan padahal sebaliknya. Seperti dinyatakan dalam Firman Allah SWT, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” (QS Al-Baqarah : 11). Wallahu’alam.[]

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.