Maka itu, untuk menyelamatkan hak Jemaah haji di masa depan, BIPIH harus meningkat.
“Kita tentu mendukung pengelolaan dana haji yang sehat dan mencegah pola ponzi. Namun di sisi lain kita juga mempertanyakan, mengapa pola pengelolaan dana haji yang tidak sehat, dimana nilai manfaat dana haji digunakan secara sangat berlebihan untuk jemaah yg akan berangkat saat ini sehingga BIPIH terkesan murah, baru terungkap pada 2023,” ujarnya.
Ia menyoroti pola BIPIH yang semakin murah, padahal BPIH terus meningkat telah terindikasi sejak 2014 dan berlangsung sampai 2019, dengan rerata turun 2,5 persen setiap tahunnya. Padahal di saat yang sama, BPIH meningkat 3,1 persen setiap tahunnya. Artinya, kata Yusuf, penurunan BIPIH sepanjang 2014-2019 bukan karena efisiensi dalam BPIH, tetapi secara sederhana karena penggunaan nilai manfaat dana haji yang terus meningkat.
Menurutnya, penggunaan nilai manfaat dana haji yang berlebihan ini baru muncul dan kemudian menjadi perhatian pada 2022 ketika BPIH meroket. Ia menilai, hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dana haji.
“Padahal ada kewajiban BPKH untuk transparansi, ada KPHI (komisi pengawas haji Indonesia), dan ada pula audit BPK. Kenaikan BIPIH secara drastis seharusnya sangat bisa dicegah, dan andai tak terhindarkan, kenaikan BIPIH seharusnya terjadi secara perlahan, tidak naik secara sangat drastis seperti pada 2022 – 2024,” ujarnya.
Sumber: Republika