Senin, 06/05/2024 - 08:12 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

LaNyalla: Sistem Demokrasi Liberal Merusak Kohesi Bangsa

ADVERTISEMENTS

BANDA ACEH -Kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila usai adanya perubahan sistematis dalam UUD 1945 tahun 1999-2002. Alhasil proses amandemen itu tak ubahnya sebagai bentuk penggantian terhadap UUD 1945 produk pendiri bangsa.

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hardiknas dari Bank Aceh Syariah

Akibatnya krisis multidimensi semakin meningkat, diiringi dengan maraknya paham liberalisme dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengajak seluruh komponen bangsa untuk merenung dan menekankan pentingnya kembali kepada UUD 1945 naskah asli.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

“Bangsa dan negara ini sejatinya dibangun melalui konsensus. Dan perubahan itu bisa berlangsung damai atas dorongan masyarakat dan kesepakatan elite. Karena itu yang terpenting adalah membangun kesadaran kolektif, bahwa sistem demokrasi liberal yang diterapkan Indonesia sejak era Reformasi tidak cocok untuk negara kepulauan dan super majemuk seperti Indonesia ini,” kata LaNyalla kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu malam (21/4).

ADVERTISEMENTS
Selamart Hari Buruh

Menurut dia, kondisi ini merupakan ancaman serius bagi kesinambungan NKRI yang berlandaskan Pancasila. Praktik demokrasi liberal yang salah satunya ditandai dengan sistem pemilihan presiden langsung bisa berdampak pada persatuan bangsa.

ADVERTISEMENTS
Top Up Pengcardmu Dimanapun dan Kapanpun mudah dengan Aplikasi Action
Berita Lainnya:
Usai Gempa Garut, BMKG Waspadai Potensi Longsor dan Banjir Bandang

“Ini penting saya sampaikan. Salah satu ancaman serius terhadap Kebhinekaan Indonesia adalah rusaknya kohesi bangsa akibat sistem pilpres langsung. Dimana Calon presiden yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih adalah pilihan ketua umum partai politik. Itu pun masih diberi hambatan Presidential Threshold 20 persen. Sehingga partai kecil harus melakukan koalisi yang terpaksa, untuk dapat mengusung calon presiden. Begitu pula dengan pemilihan gubernur dan bupati atau walikota secara langsung. Sama prinsipnya,” jelas dia.

ADVERTISEMENTS
PDAM Tirta Bengi Bener Meriah Aplikasi Action Bank Aceh

Mantan Ketua Umum PSSI itu menyatakan sistem pemilihan presiden, gubernur, bupati atau walikota yang dilakukan secara langsung ditentukan oleh popularitas, elektabilitas dan akseptabilitas. Padahal, lanjut dia, ketiga variabel tersebut dapat dibentuk atau difabrikasi melalui media dan teori-teori komunikasi dengan biaya yang mahal.

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh

“Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin populer nama calon tersebut. Karena setiap hari, wajahnya akan menghiasi media massa besar melalui kegiatan-kegiatan yang dibuat. Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin tinggi elektabilitas nama calon tersebut karena dirilis oleh lembaga-lembaga survei ternama dengan angka-angka yang kita tidak tahu bagaimana dihasilkan,” bebernya.

Berita Lainnya:
Megawati Turun Gunung demi Kalahkan Jokowi Melalui Mahkamah Konstitusi, Siapa Pemenangnya ?

“Semua informasi tersebut diresonansikan oleh buzzer-buzzer di media sosial dengan narasi-narasi yang berisi puja dan puji. Sementara di satu sisi, ada pula narasi-narasi menghujat dan menjelek-jelekkan calon yang lain. Sehingga tercipta julukan olok-olok yang masih berlangsung hingga hari ini. Sehingga semakin tajam dan kuat jurang pemisah antar kelompok masyarakat,” tambah dia.

LaNyalla menyebut ini dampak dari pilpres langsung yang diadopsi begitu saja dari sistem barat. Aakhirnya melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa.

“Padahal sudah berabad-abad bangsa Nusantara ini memiliki tradisi musyawarah dan perwakilan. Bahkan partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia menggunakan sistem perwakilan dalam memilih ketuanya. Tetapi mengapa giliran memilih presiden harus dilakukan secara langsung?” tegasnya.

“Saya yakin, jika rakyat Indonesia ditanya dengan pertanyaan; manakah yang Anda pilih, hidup dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan kebersamaan, atau hidup dengan nilai-nilai barat yang individualistik, liberal dan kapitalistik; saya yakin rakyat Indonesia akan memilih hidup di dalam naungan Pancasila,” pungkas LaNyalla.

ADVERTISEMENTS

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi