UPDATE

IN-DEPTH
IN-DEPTH

Aceh Menanggung Beban Krisis Udang Nasional, KKP Sibuk Diplomasi

image_print

BANDA ACEH – Penghentian ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat akibat insiden kontaminasi radioaktif di Banten telah menimbulkan guncangan besar di pasar global. Namun, yang paling merasakan getirnya bukanlah perusahaan besar di pusat industri, melainkan ribuan petambak kecil termasuk di Aceh.

Ironisnya, Aceh tidak terlibat dalam kasus kontaminasi itu, tetapi justru menjadi daerah yang paling terdampak akibat efek riak (ripple effect) dari kebijakan penghentian ekspor.

Harga udang vaname di tambak Aceh anjlok drastis—turun hingga Rp14.000 sampai Rp17.000 per kilogram. Seorang petambak di Aceh Utara bahkan mengaku rugi Rp40 juta hanya dalam satu kali panen. Angka ini tentu bukan sekadar kerugian bisnis, melainkan ancaman terhadap hajat hidup ribuan keluarga pesisir yang sejak turun-temurun menggantungkan nafkah dari tambak udang.

Situasi ini memperlihatkan betapa rapuhnya struktur ekonomi perikanan kita. Industri udang Aceh sangat bergantung pada pabrik-pabrik pengolahan di Medan yang menyalurkan produk ke pasar ekspor. Begitu pabrik-pabrik itu menutup pintu akibat isu global, hasil panen masyarakat Aceh tidak terserap.

Dengan kata lain, satu masalah di Banten mampu melumpuhkan ekonomi pesisir di Aceh—sebuah potret nyata dari sentralisasi dan ketidakadilan dalam rantai pasok nasional.

Diversifikasi Pasar & Hilirisasi: Jalan yang Tak Bisa Ditunda

Dalam konteks inilah, gagasan yang disampaikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh patut diapresiasi. Ia menekankan pentingnya diversifikasi pasar dan hilirisasi produk udang sebagai strategi jangka panjang untuk menyelamatkan industri udang Aceh.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Diversifikasi pasar berarti Aceh tidak boleh lagi hanya mengandalkan Amerika Serikat sebagai tujuan utama. Potensi pasar alternatif terbuka luas di Asia, Timur Tengah, Rusia hingga Afrika. Jika ini dikelola dengan serius, Aceh akan punya daya tawar lebih besar dan tidak lagi terpukul hebat ketika satu pasar terganggu.

Sementara itu, hilirisasi adalah kunci agar Aceh tidak lagi sekadar menjadi pemasok bahan mentah. Dengan fasilitas pengolahan dan pengemasan berstandar internasional di dalam provinsi, nilai tambah bisa dinikmati langsung oleh masyarakat Aceh. Petambak tidak hanya menjual udang segar, tapi juga bisa masuk ke rantai industri produk olahan yang bernilai tinggi.

Memang benar, DKP Aceh tidak memiliki seluruh instrumen kebijakan. Namun, inisiatif mereka mencari pasar alternatif, mendorong hilirisasi, serta mengkoordinasikan data produksi patut dihargai. Mereka sudah berupaya sebisa mungkin, meski keterbatasan anggaran dan kewenangan membuat langkah-langkah tersebut belum optimal.

KKP: Terlalu Sibuk Diplomasi, Lupa Rakyat di Lapangan

Sebaliknya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus dikritik keras. Alih-alih memikirkan rakyat pesisir, KKP lebih sibuk menjaga reputasi ekspor nasional di mata dunia. Mereka membentuk Satgas, menutup sumber pencemaran radioaktif di Banten, dan berkeliling melakukan diplomasi internasional.

Tetapi mari kita jujur: semua itu tidak menyentuh akar masalah di Aceh. Sementara pejabat KKP berbicara di forum global, ribuan petambak di Aceh terjebak dalam kerugian masif. Harga dasar udang tak pernah ditetapkan, subsidi darurat tak kunjung turun, Aceh butuh fasilitas cold storage udang namun tak pernah hadir. Rakyat pesisir dibiarkan berjuang sendirian menghadapi guncangan pasar internasional yang jelas-jelas bukan mereka penyebabnya.

Inilah ketidakadilan yang nyata. Diplomasi internasional memang penting, tetapi perut rakyat di pesisir Aceh tak bisa menunggu hasil rapat kabinet atau nota kesepahaman dengan Amerika.

Membalik Paradigma: Dari Korban Menjadi Pemain Utama

Krisis udang kali ini harus menjadi alarm keras. KKP tidak boleh lagi menilai keberhasilan hanya dari ekspor yang kembali dibuka, melainkan dari sejauh mana rakyat kecil tetap bertahan hidup di tengah badai pasar global.

Aceh butuh dukungan nyata: pembangunan unit pengolahan di dalam provinsi, pembukaan akses pasar baru, dan bantuan keuangan bagi petambak. DKP Aceh sudah punya arah yang benar dengan mendorong diversifikasi dan hilirisasi, kini tinggal bagaimana pemerintah pusat, khususnya KKP, tidak menutup mata terhadap penderitaan rakyat pesisir.

Penutup

KKP harus dikritik keras: jangan hanya sibuk menjaga citra dagang nasional, sementara petambak di Aceh dibiarkan hancur. Di sisi lain, DKP Aceh layak diapresiasi karena berani menawarkan solusi meski dengan keterbatasan.

Krisis ini adalah panggilan untuk mengubah arah kebijakan: dari sekadar reaktif menjaga reputasi ekspor, menuju proaktif melindungi kehidupan masyarakat pesisir. Karena apa gunanya diplomasi berhasil, jika pada saat yang sama tambak-tambak di Aceh mati perlahan?

author avatar
Hamdani Researcher
Executive Writer di Harian Aceh Indonesia

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.