Anak dan perempuan makin rentan di dunia digital. Negara wajib hadir memberi perlindungan siber berbasis iman dan sistem Islam kaffah.
Penulis: Hanny N
Fakta Terkini: Ancaman Nyata di Era Digital
MENTERI Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi mengatakan, sebagian besar penyebab atau sumber dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, dipicu oleh media sosial atau gadget.
Menurutnya, fenomena ini menjadi perhatian serius mengingat tingginya keterpaparan anak terhadap dunia digital yang tidak disertai kontrol dan bimbingan yang memadai. (Tempo.co, 11/7/2025)
Kemajuan teknologi digital telah membawa dampak besar bagi kehidupan manusia, termasuk perempuan dan anak-anak. Sayangnya, di tengah arus transformasi digital yang begitu masif, kelompok rentan justru makin terpapar bahaya yang tersembunyi di balik kemilau dunia maya. Perlindungan yang seharusnya diberikan oleh negara pun terasa lemah, bahkan nyaris tak ada.
Ancaman Siber terhadap Anak dan Perempuan
Penggunaan gawai di usia dini kini telah menjadi hal lazim. Anak-anak mengakses internet sebelum mereka memahami bahaya dan batasannya. Media sosial yang seharusnya bersifat informatif kini justru dipenuhi konten destruktif: kekerasan, pornografi, body shaming, hingga eksploitasi seksual. Perempuan juga tak luput dari ancaman: doxxing, pelecehan daring, hingga perdagangan manusia berbasis digital telah menargetkan mereka sebagai korban utama.
Rendahnya literasi digital serta lemahnya benteng keimanan akibat sistem pendidikan sekuler semakin memperparah situasi. Generasi yang tumbuh tanpa arahan spiritual menjadi lebih mudah tergoda pada hal-hal yang merusak fitrah mereka.
Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al-Isra: 32)
Kecenderungan ke arah penyimpangan seksual melalui konten digital merupakan bukti nyata bahwa dunia maya tidak netral. Tanpa regulasi syar’i dan proteksi dari negara, perempuan dan anak-anak akan terus menjadi korban.
Kapitalisme Digital dan Abainya Negara
Sistem kapitalisme sekuler yang menjadi dasar digitalisasi global telah melahirkan monster yang tak terkendali. Profit dan traffic menjadi ukuran keberhasilan, bukan keselamatan atau kebermanfaatan. Tak heran jika platform media sosial enggan membatasi konten yang merusak moral selama masih menghasilkan keuntungan.
Negara pun terkesan pasif. Arus digital dianggap sebagai momentum ekonomi, sementara aspek perlindungan publik justru dipinggirkan. Padahal negara memiliki kewajiban sebagai junnah, pelindung dan penjaga rakyatnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Imam adalah junnah, ia adalah pelindung yang rakyat berlindung di belakangnya dan ia akan mempertahankan rakyatnya.”(HR. Muslim)
Jika negara abai pada aspek perlindungan siber, maka fungsinya sebagai junnah telah gagal dijalankan. Maka penting untuk meninjau ulang visi negara terhadap dunia digital—apakah semata bisnis, atau sarana pelayanan publik dan penjagaan akhlak.
Dunia Siber sebagai Alat Dominasi
Di sisi lain, penguasaan teknologi digital kini menjadi alat baru untuk menguasai negara. Infrastruktur digital yang bergantung pada asing menjadikan keamanan data nasional rentan diretas, diawasi, atau dimanipulasi. Konten informasi dapat disetting untuk membentuk opini publik yang sesuai kepentingan global, bukan kepentingan rakyat Indonesia.
Dengan data pengguna yang sangat masif dan sistem pengawasan algoritma yang tak transparan, ancaman terhadap kedaulatan digital bukanlah hal fiktif. Maka, negara harus segera membangun sistem digital yang mandiri, syar’i, dan bebas dari ketergantungan asing.
Teknologi Mandiri dan Sistem Islam
Dalam Islam, pengembangan teknologi harus berada di bawah arahan negara yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia. Digitalisasi harus dipandu oleh visi akhirat dan kemaslahatan umat, bukan sekadar keuntungan materi.
Negara Islam atau Khilafah adalah sistem yang akan hadir sepenuhnya dalam mengatur ruang siber: mulai dari kurasi konten, pengawasan aktivitas digital, pengembangan perangkat keras dan lunak, hingga membangun ekosistem informasi yang sehat dan produktif. Negara tidak akan membiarkan perusahaan asing menguasai lalu lintas data masyarakat. Pornografi, kekerasan, dan penyimpangan akan dicegah bukan hanya lewat sanksi, tapi lewat pendidikan akidah sejak dini.
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Negara dalam sistem Islam memahami bahwa perlindungan bukan hanya aspek hukum, tapi juga tanggung jawab moral dan spiritual. Anak dan perempuan adalah amanah, dan tidak boleh diserahkan begitu saja pada arus teknologi tanpa pengawasan.
Literasi Digital Berbasis Iman
Perlindungan dunia siber juga harus dimulai dari pembentukan individu yang kuat iman dan akhlaknya. Literasi digital bukan hanya soal teknis, tapi juga kepekaan terhadap nilai-nilai Islam. Anak yang tahu hakikat aurat, perempuan yang memahami kemuliaan dirinya, serta masyarakat yang sadar bahaya konten digital akan menjadi benteng alami bagi keluarga dan komunitas.
Sistem pendidikan Islam menjadikan iman sebagai fondasi berpikir. Maka literasi digital yang dibangun dalam sistem ini akan mencetak generasi yang tak hanya cerdas bermedia, tapi juga tangguh terhadap godaan dunia maya.
Penutup: Urgensi Perlindungan Siber Secara Kaffah
Perempuan dan anak membutuhkan jaminan perlindungan siber yang nyata, bukan hanya seruan moral atau kampanye sesaat. Negara harus hadir secara utuh—membangun ekosistem digital yang sehat, menyaring konten destruktif, dan memberi pendidikan digital berbasis iman.
Sistem sekuler kapitalisme telah gagal memberi jaminan keselamatan. Maka solusi bukan pada tambalan kebijakan, melainkan pada perubahan sistem menuju Islam kaffah. Khilafah Islamiyah akan hadir sebagai pelindung, pengarah, dan pendidik dalam menghadapi dunia digital. Sebuah sistem yang bukan hanya memikirkan dunia, tapi juga keselamatan di akhirat.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa kemajuan teknologi tanpa landasan iman hanyalah jalan menuju kehancuran moral. Kesadaran ini harus ditumbuhkan dari keluarga, komunitas, hingga negara. Namun, upaya individu tidak akan cukup tanpa sokongan sistem yang melindungi secara menyeluruh. Oleh karena itu, seruan untuk kembali kepada aturan Islam secara kaffah bukan sekadar idealisme, tapi kebutuhan mendesak. Dunia siber tak boleh dibiarkan menjadi ladang kejahatan yang tak terkontrol. Hanya sistem Islam yang mampu memastikan bahwa teknologi menjadi rahmat, bukan malapetaka. Maka, perjuangan menegakkan Khilafah adalah bagian dari ikhtiar perlindungan sejati bagi generasi penerus umat.
Wallahu’alam bish shawab.































































































PALING DIKOMENTARI
Rosan Roeslani Bongkar Akal-akalan Keuangan…
Apa itu Rehabilitasi dan Tujuannya
Kabar Gembira, Bustami Hamzah Resmi…
Buni Yani: Gugatan Ijazah SMA…
Viral 3I/ATLAS Benda Asing Luar…
KOMENTAR
Semoga tidak ada kaitannya dengan Bobby Nasution
Innalillahi wainna ilaihi raji'un.. semoga kehadiran negara dalam bencana bisa…
In sya Allah, tetap rakyat yang akan menanggung nya. Hahahaha...
Kita do'akan semoga kejaksaan bisa menangkap Buronan satu ini.
Hahaha. tingkat khayalan NASA merusak akal sehat umat manusia. NASA…