Adhie sepakat bahwa semua lembaga negara, terutama yang pejabatnya dipilih rakyat secara langsung melalui emokrasi elektoral, harus dijaga kewibawaan, kehormatan dan kesuciannya.
“Tapi jangan ngaco, bukan rakyat yang harus menjaga kehormatannya, tapi pejabat yang menduduki jabatan (di lembaga negara) itu. Dia tidak boleh cacat sedikitpun di mata rakyat, di mata publik. Jika integritas moralnya cacat, sedikit saja, dia harus berpikir untuk lekas mundur sebelum rakyat mengeritik dan menghinanya secara terbuka,” tegasnya.
Lembaga negara, jabatan publik, memang harus diperlakukan seperti kitab suci. Dijaga secara seksama. Akan tetapi, sambungnya, sebelum menyentuh kitab suci itu, semua pihak harus dalam keadaan bersih untuk menjaga kesuciannya.
Menurut Adhies, ada peringatan langsung dan tepat waktu untuk nelanjangi para perancang RKUHP, yaitu skandal Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Kedudukan PM Inggris itu mulia, bergengsi, bermartabat.
Maka ketika Boris Johnson dianggap mengotori kehormatan kursi PM Inggris, maka publik menuntutnya untuk mundur. Dan sesuai dengan konsekuensi tata nilai demokrasi, Boris Johnson pun mundur.”
“Bayangkan, jika RKUHP itu jadi UU resmi dan diberlakukan di Inggris, maka puluhan menteri yang mengundurkan diri, dan masyarakat Inggris yang dianggap menghina Boris dan rekannya (Chris Pincher) karena ngungkap skandal pelecehan seksual LGBT, bakal pada masuk bui!” tegasnya.
Karena itu, untuk menjaga kehormatan lembaga negara dan kekuasaan umum, bukan bikin ancaman kepada rakyat, justru yang dibutuhkan bangsa ini adalah UU Etika Pejabat Publik.
“Yang ada pasal pemaksaan mundur jika dia menistakan kedudukannya sebagai pejabat publik dengan nyopet uang rakyat, ingkar janji atau berbohong,” demikian Adhie.