Ketua tim Peneliti, Dr. Teuku Muttaqin Mansur mengatakan, pengajuan usulan hutan adat oleh Mukim sudah tepat, karena wilayah hutan adat ini dikelola oleh mukim yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang struktur pemerintahannya mengkoordinir desa-desa.
Secara historis mukim memiliki wilayah hutan yang dikelola secara turun temurun.
Selain itu di Aceh juga terdapat Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang dapat menyelesaikan persengkataan persoalan adat. LWN merupakan lembaga yang diamanatkan untuk membina dan mengawasi lembaga-lembaga adat di Aceh.
Melalui hutan adat mukim semua masyarakat desa memiliki hak untuk mengelola hutan di bawah pengawasan mukim.
“Sekalipun, ada gampong (desa) tidak beririsan dengan hutan, tetapi karena gampong tersebut dalam satu mukim, maka tetap dapat memanfaatkan dan mengelola hutan adat mukim. Praktik ini sudah dilakukan turun temurun,” jelas Muttaqin.
Hutan yang diusulkan sebagai hutan adat oleh tiga mukim tersebut saat ini statusnya milik negara baik hutan lindung dan hutan produksi. Namun, sebagian telah bersalin menjadi wilayah konsesi perusahaan hutan tanaman industri.
Para mukim khawatir suatu saat hutan-hutan di wilayah mukim justru akan menjadi wilayah konsesi perusahaan, sementara warga butuh lahan untuk aktivitas ekonomi.
“Pengelolaan hutan adat oleh mukim tidak merusak hutan, justru memperbaiki kondisi hutan,” ujar Muttaqin.
Syarat pengusulan hutan adat telah terpenuhi, mulai dari penetapan peta kawasan, persetujuan bupati, hingga persetujuan semua kepala desa di wilayah mukim.
Kini penantian panjang Pemerintahan Mukim di Pidie untuk diberi hak penguasaan hutan menanti jawaban dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.[]