Senin, 06/05/2024 - 04:09 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Pilpres Satu Putaran Dinilai Bisa Cegah Potensi Polarisasi

ADVERTISEMENTS

JAKARTA — Formasi Indonesia Moeda kembali menggelar diskusi bertajuk “Potensi Polarisasi Antara Kelompok Nasionalis Vs Nasionalis, Satu Putaran Jadi Solusi?.” Diadakan di Longue Room, Universitas Nasional (UNAS), Senin (4/12/2023).

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hardiknas dari Bank Aceh Syariah

Koordinator Nasional (Kornas) Formasi Syifak Muhammad Yus menyampaikan pada dasarnya, polarisasi adalah sesuatu yang sehat dan alami, karena apabila tidak ada partai politik dan pilihan capres dan cawapres yang berbeda, maka masyarakat tidak akan memiliki pilihan. Hanya saja, yang harus dihindari adalah polarisasi yang membelah sesama anak bangsa. 

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Namun, menurutnya polarisasi dalam kompetisi politik kerap dianggap sebagai bagian dari pertarungan hidup dan mati.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

“Tentu kita masih ingat bagaimana kerasnya polarisasi yang terjadi selama proses pemilihan Gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 silam, antara pendukung pasangan Anies-Sandi dengan pendukung pasangan Ahok-Djarot,” ujar Syifak dalam paparannya, di Jakarta.

ADVERTISEMENTS
Selamart Hari Buruh

“Polarisasi terjadi antara kelompok nasionalis yang diisi oleh pendukung Ahok-Djarot dengan kelompok agamis yang di dalamnya terdiri dari pendukung Anies-Sandi. Polarisasi itu terjadi hingga akar rumput, terjadi di perkampungan, komplek, bahkan hingga di gang-gang sempit perkampungan,” sambungnya.

ADVERTISEMENTS
Top Up Pengcardmu Dimanapun dan Kapanpun mudah dengan Aplikasi Action

Parahnya lagi, kata Syifak polarisasi itu terjadi bukan hanya di DKI Jakarta, bahkan sampai ke daerah lain yang dekat Jakarta dan masih berlanjut bahkan setelah Pilgub DKI Jakarta selesai. Tentu hal itu menjadi catatan kelam bagi demokrasi bangsa Indonesia. Fenomena itu menunjukkan bahwa demokrasi kita masih belum sehat. 

ADVERTISEMENTS
PDAM Tirta Bengi Bener Meriah Aplikasi Action Bank Aceh
Berita Lainnya:
IPW Curiga RAT Dapat Izin tak Resmi Jadi Pengawal Bos Tambang

“Dalam Sejarah politik Indonesia, Polarisasi pernah terjadi pada tahun 1965 antara kelompok nasionalis dengan nasionalis. Pada tahun tersebut, terjadi gencatan senjata antar kedua kelompok yang sama. Keduanya sama-sama mengatasnamakan nasionalisme,” urainya.

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh

“Yang kedua, polarisasi antara kelompok nasionalis dengan nasionalis juga terjadi tahun 1998. Masyarakat terpecah belah akibat polarisasi itu. Bahkan telah menimbulkan korban jiwa atas polarisasi yang terjadi pada masa itu,” sambungnya.

Lanjut Syifak mengatakan Pilpres 2019 antara Jokowi vs Prabowo juga menjadi catatan tersendiri. Masyarakat pendukung Prabowo dengan pendukung Jokowi terbelah hingga akar rumput. Polarisasi ini terjadi lantaran hanya ada dua pasang calon yang mengikuti kontestasi Pilpres di 2014 dan 2019. Artinya, polarisasi itu mutlak terjadi.

“Pilpres 2024 yang diikuti oleh tiga pasang calon, juga berpotensi hal yang sama. Polarisasi ini bahkan diprediksi akan terjadi tidak hanya antara kelompok islamis dengan kelompok nasionalis, bahkan juga berpotensi terjadi antara kelompok nasionalis dengan kelompok nasionalis seperti yang terjadi pada tahun 1965 dan tahun 1998,” ucapnya,

Berita Lainnya:
Rosan-Arsjad Mesra, Bamsoet: Politisi Jangan Baperan

“Kita bisa melihat bagaimana pertarungan di media sosial antara pendukung Anies-Muhaimin, pendukung Prabowo-Gibran, dan pendukung Ganjar-Mahfud. Berbeda dengan pendukung pasangan Anis-Muhaimin yang banyak diisi oleh kalangan agamis, pendukung pasangan Prabowo-Gibran dan Pasangan Ganjar-Mahfud diisi mayoritas oleh kalangan kelompok nasionalis,” imbuhnya.

Lebih lanjut Syifak mengatakan polarisasi itu terlihat bagaimana keduanya telah mengibarkan bendera perang di dunia maya. Psywar dilakukan terus menerus tanpa henti. Saling menjatuhkan, saling memfitnah, dan saling melempar isu yang sebenarnya usang.

“Belajar dari Sejarah polarisasi yang terjadi di Indonesia, bahwa polarisasi bisa terjadi apabila hanya ada dua pilihan yang berbeda, termasuk yang terjadi di DKI Jakarta tahun 2017, di mana polarisasi dimulai saat putaran kedua di mana pilihannya yang tersisa adalah dua pasangan yaitu pasangan Ahok-Djarot dan pasangan Anies- Sandi,” ungkapnya.

Oleh karena itu, melihat fenomena ini harus dihindari agar apa yang terjadi pada masa-masa kelam itu tidak terulang kembali di kemudian hari. Sebab yang dirugikan sepenuhnya adalah rakyat. Bukan elit elit politik atau relawan pendukung para kandidat. 

“Karena itu, penting bagi pemerintah untuk membangun dan memperkuat narasi kebangsaan di tengah masyarakat, sehingga kepentingan nasional tidak dikalahkan oleh kepentingan politik praktis,” urainya.

ADVERTISEMENTS

x
ADVERTISEMENTS
1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi