Derajat keilmuan ini bisa dimiliki oleh Sa’id bin Al-Musayyab karena ingatannya yang senantiasa terpelihara dan terjaga, dan yang tampak nyata di atasnya adalah kecerdasan yang jernih. Dia berkata kepada salah seorang sahabatnya, “Ayahmu pernah datang kepadaku pada masa kekhalifahan Muawiyah, lalu dia bertanya kepadaku tentang ini dan itu, maka aku pun berkata kepadanya begini dan begitu.” (Thabaqat Ibnu Saad)
‘Umran bin Abdullah Al-Khuza’i yang hidup se-zaman dengannya pun pernah berkata tentangnya, “Demi Allah, aku tidak pernah melihatnya sama sekali ketika ada sesuatu yang melewati telinganya, kecuali hatinya pasti dapat menangkap dan memahaminya.”
Demikianlah kesaksian orang-orang yang hidup se-zaman dengannya mengenai ingatan dan hafalannya, dan sungguh pada masanya itu ilmu hanya bergantung pada hafalan, tidak ada tulisan maupun buku yang dapat dibaca. Satu-satunya sumber ilmu hanyalah majelis-majelis ilmu dan melakukan perjalanan kepada para pemilik ilmu dan fikih, lalu memperoleh periwayatan dan ilmu mereka. Setelah itu tumbuhlah ra’yu, ijtihad, dan qiyas. Semuanya itu dikuatkan dengan ijma’, kecermatan periwayatan, dan kejujuran seorang rawi.
Sumber: Republika