Putusan itu menganulir klaim kedaulatan Cina atas sebagian besar wilayah LCS. Kendati demikian Beijing menolak mematuhi putusan tersebut. “Jadi kepentingan AS adalah pada kemampuan Filipina menangkap ikan atau Indonesia dalam memanfaatkan blok tuna, dan juga pada kemampuan Angkatan Laut AS untuk berlayar melalui LCS,” kata Poling.
Sementara kepentingan kedua AS terkait isu LCS adalah komitmen aliansi. Poling mengatakan, AS mendukung Filipina sebagai sekutunya. “Negara ini mempunyai kewajiban hukum dan moral terhadap Filipina berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual Defense Treaty). Hal ini menjadikan hubungan AS-Filipina unik, unik di antara seluruh hubungan AS di Asia Tenggara,” ucapnya.
Dia menambahkan, sejak 2019, AS, yang kala itu dipimpin Donald Trump, telah berulang kali secara eksplisit menyatakan bahwa Pasal 5 Perjanjian Pertahanan Bersama berlaku di LCS. “Tidak ada pertanyaan di sini. Dikatakan bahwa setiap serangan terhadap angkatan bersenjata Filipina di mana pun di Pasifik akan memicu kewajiban pertahanan bersama. LCS jelas berada di Pasifik,” kata Poling.
“Jadi jika kita semua ingin menghindari konflik antara AS dan Cina, itu berarti kita harus mencegah segala agresi terhadap Filipina. Kedua kepentingan tersebut, komitmen aliansi kami dengan Filipina serta komitmen jangka panjang kami untuk membebaskan lautan, adalah alasan AS tetap terlibat di LCS,” tambahnya.
Pada 25 Desember 2023, People’s Daily, media corong Partai Komunis Cina, menulis bahwa Filipina, dengan dukungan AS, terus memprovokasi Beijing dengan perilaku “sangat berbahaya”. Cina menuduh Manila secara serius membahayakan perdamaian dan stabilitas regional.
Cina diketahui mengklaim sebagian besar LCS sebagai teritorialnya. Klaim itu ditentang sejumlah negara ASEAN yang wilayahnya turut mencakup perairan tersebut, seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Wilayah Laut Natuna Utara Indonesia juga bersinggungan langsung dengan klaim Cina di LCS.
Sumber: Republika