BANDA ACEH – Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan membaca Kecurangan Pemilu sebetulnya bisa dilakukan dengan
mudah.
Indikasi kecurangan itu bisa dilihat apabila sistem pemilu pasca pencoblosan
dijalankan dengan baik
Arief memberi contoh kasus yang patut dicurigai semisal KPU daerah lambat
mengupload data C.Hasil ke Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Kecurigaan itu seharusnya bisa langsung terbaca apalagi penghitungan di KPU
daerah mayoritas sudah selesai mengupload form C Hasil.
“Pernah saya punya pengalaman jadi rata-rata dalam suatu waktu daerah lain
angkanya sudah 60 persen sampai 70 persen. Ini satu kabupaten 5 persen saja
belum masuk,” ungkap Arief dalam podcast bertajuk Utak-Atik Perolehan Suara
Parpol dan Caleg Hasil Pemungutan Suara Pemilu 2024 di Kantor Tribun Network,
Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Kala itu, Arief langsung mengirim tim untuk mengecek problemnya.
Sekali waktu, dia pun pernah langsung menyambangi KPU daerah agar data segera
diupload.
“Begitu saya datang benar ternyata dokumen teronggok di pojokan ruangan belum
diupload. Saya perintahkan upload sekarang, mereka langsung bekerja,” tuturnya.
Masalah dari keterlambatan itu disebabkan beberapa faktor bisa karena akibat
jaringan atau kurangnya kualitas SDM.
“Kita bisa melihat juga mana yang sudah diupayakan tapi belum masuk. Jadi begitu
sudah diupload datanya itu langsung naik persentase rekapitulasi tiga hari selesai,”
tukasnya.
Arief menambahkan C.Hasil sebetulnya menjadi kewajiban dari penyelenggara
pemilu KPPS memberikan kepada saksi.
Apabila partai tidak memiliki saksi maka di tingkat kecamatan saksi partai bisa
meminta.
Hal itu pun diwajibkan kepada KPU untuk memberikan formulir C.Hasil.
Artinya jika semua punya C-hasil dan asumsinya daerah itu terjadi kecurangan,
sebetulnya orang-orang yang punya data sudah tahu.
“Itu problemnya Anda mau bersuara atau nggak. Jangan-jangan Anda bagian dari
persekongkolan” tukasnya.
Berikut Wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra
dengan Arief Budiman:
Mengenai utak-atik suara konon untuk kepentingan partai suara dan kepentingan
caleg tertentu, sebenarnya mengapa dan analisa Anda apa yang membedakan
dengan Pemilu 2024 dari sebelumnya?
Saya merasa bahwa polemiknya terlalu banyak karena ada banyak catatan, banyak
komplain, banyak permintaan publik yang KPU tidak dapat menjelaskan secara baik.
Apalagi peristiwa terakhir polemik Sirekap yang mana ujungnya kemudian justru
hasil rekapitulasi tidak ditampilkan, yang ditampilkan adalah hasil penghitungan
suara di masing-masing TPS. Itu sebetulnya makin membuat banyak pertanyaan.
Saya sendiri sebenarnya melihat mengapa ini mundur lagi.
Mundur sampai 10 tahun atau sampai 15 tahun?
Apa yang kita tampilkan sekarang itu sudah kita tampilkan sekurang-kurangnya 10
tahun yang lalu ketika Pemilu 2014. Kita sebetulnya progresnya sudah naik terus.
Pemilu 2014, Pemilu 2019, dan Pilkada 2020. Pemilu 2024 sebenarnya diharapkan
menyempurnakan apa yang sudah kita kerjakan tapi saya merasa kalau terjadi
seperti ini transparansinya malah berkurang.
Padahal salah satu kebijakan yang bisa menjaga tingkat kepercayaan publik
terhadap pemilu adalah transparansi. Ya tentu yang lainnya kualitas
penyelenggaraan, integritas penyelenggaraan.
Saya melihat di tahap-tahap pun transparansinya agak berkurang dibandingkan Pemilu sebelumnya. Nah ini KPU yang bertugas sekarang dia harus bisa menjelaskan secara detail mengapa kebijakan itu diambil.
Apa pentingnya Sirekap itu ditampilkan buat penyelenggara, publik maupun peserta
Pemilu 2024?
Pertama kerjanya Sirekap akan mampu menampilkan data bukan hanya hasil
penghitungan tapi juga rekapitulasi lebih cepat dibandingkan jadwal normal yang
durasinya 35 hari.
Karena itu menyediakan data lebih cepat bagi penyelenggara pemilu sendiri akan bisa mengontrol seluruh pasukannya mulai dari TPS sampai tingkat provinsi. Kalau ada hal yang lambat diinformasikan kita akan tahu dan bisa menduga ada sesuatu yang bermasalah.
Bagi peserta pemilu dia bisa mengontrol apakah suaranya dicurangi atau tidak, baik