Selasa, 30/04/2024 - 11:01 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

ACEH

Wartawan, Media Online dan Akurasi Berita “Jual Darah” di UDD PMI Banda Aceh

ADVERTISEMENTS

Jurnalisme online kerap menjadi sorotan karena sering kali mengabaikan (mengorbankan) prinsip-prinsip dasar yaitu; akurasi berita. Akibatnya, bukan mustahil menghasilkan berita-berita hoax karena minimnya verifikasi sumber. Lantas, bagaimana dengan berita dugaan “jual-beli darah” di UDD PMI Banda Aceh?

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh

WALAU sempat viral, kini pemberitaan kasus dugaan “jual beli” darah di UDD PMI Banda Aceh kepada PMI Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten boleh disebut mulai reda.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Kabar tak elok ini memang sempat menyita perhatian banyak pihak. Maklum, soal darah memang bukan kabar biasa, sebab menyangkut nilai kemanusian dan hajat hidup orang banyak.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

Karena itulah, bagi jurnalis dan media pers (cetak dan online). Mewartakan informasi sensitif seperti ini, membutuhkan sejumlah aturan dan standar etika serta paham kode etik jurnalistik (KEJ), selain berpulang pada hati nurani wartawan.

ADVERTISEMENTS

Ini bermakna, pertanggungjawaban produk berita tak sekedar bahwa media pers cetak atau online itu, sudah terverifikasi administrasi dan faktual serta wartawannya telah lulus uji kompetensi wartawan (UKW) sekelas; UTAMA dari Dewan Pers.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil

Sebaliknya, bukan mustahil pula dalam banyak kasus dan peristiwa, seorang jurnalis bisa saja tertipu dan ditipu oleh narasumber, data dan fakta sebenarnya. Ini disebabkan, lagi-lagi karena ketidak-pekaan si jurnalis terhadap prinsip dasar untuk memproduksi berita.

Berita Lainnya:
Kapolda Achmad Kartiko Terima Audiensi Kepala BNN Aceh

Anda mungkin bisa ingat dan pernah membaca tulisan Wisnu Prasetya Utomo dengan judul; Ketika Jurnalis Tertipu, yang diwartakan laman remotivi.or.id, pada 21 Juni 2016.

Begini Wisnu memulai tulisannya. Judul dan isi berita “Marlboro Jual Rokok Ganja” yang ditulis Tempo.co itu kini sudah diganti. Awalnya, berita itu berisi keterangan bahwa perusahaan rokok Marlboro telah menjual rokok ganja dan sudah tersedia di berbagai gerai khusus berlisensi.

Ternyata berita itu hoax, sumber awal berita itu adalah situs parodi Abril Uno. Setelah menyadari kesalahannya, Tempo.co meralat dan memberikan keterangan di berita yang baru.

Di waktu yang lain, Kompas.com menulis berita tentang seorang perempuan yang rela ditiduri laki-laki agar ia bisa keliling dunia. Tapi ternyata itu juga berita bohong. Itu adalah cerita yang difabrikasi oleh sebuah perusahaan aplikasi telepon genggam. Tidak ada keterangan penjelas di berita Kompas.com yang menyebut bahwa berita tersebut palsu.

Fenomena tersebut bukan gejala khas jurnalisme daring di Indonesia saja, tetapi melanda di media-media di berbagai negara. Dalam risetnya yang berjudul Lies, Damn Lies, and Viral Content Craig Silverman menyebutkan bahwa, banyak media besar bisa tertipu berita-berita palsu. Ia memberikan contoh ketika terjadi kasus penculikan puluhan mahasiswa di Meksiko diculik pada 2014 lalu.

Berita Lainnya:
BMA dan Sakinah Finance Sepakati Kerjasama untuk Pemberdayaan Disabilitas

Beberapa waktu setelah puluhan mahasiswa diculik, banyak media yang memberitakan telah ditemukannya kuburan massal yang terdapat jenazah para mahasiswa tersebut.

Media-media seperti CNN, Guardian, BBC, Time, dan Washington Post ikut memberitakannya. Belakangan, ketika sudah dilakukan tes DNA ternyata jenazah-jenazah tersebut tidak sesuai dengan kelompok mahasiswa yang dimaksud.

Ironisnya, banyak media yang keliru memberitakan tersebut tidak menulis berita lanjutan. Washington Post misalnya, di awal kejadian menulis tiga berita terkait penemuan kuburan tersebut, namun hanya menuliskan satu berita untuk meralatnya. Time dan CNN bahkan tidak memberikan ralat sama sekali.

Dari temuan tersebut dan juga pada isu-isu lain, Craig Silverman menjelaskan setidaknya ada 2 catatan tentang bagaimana media merespon berita-berita hoax atau palsu.

Pertama, dengan melakukan update atau follow up. Update berarti media meralat kesalahan langsung di berita pertama, sementara follow up berarti membuat berita baru dan tetap membiarkan berita lama yang keliru.

Kedua, media cenderung untuk memperbaiki berita yang segera diketahui kesalahannya dalam waktu 24 jam setelah dipublikasikan. Sementara media yang rata-rata baru sadar bahwa ada kesalahan dalam pemberitaannya, cenderung tidak meralat atau memperbaiki berita tersebut.

x
ADVERTISEMENTS
1 2 3

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi