Selasa, 30/04/2024 - 01:07 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

ASIAINTERNASIONAL

Suara Kemerdekaan Palestina Sudah Bergaung di Bandung 69 Tahun Lalu

ADVERTISEMENTS

BANDUNG — Perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri belum mereda sejak Perang Dunia I. Dalam Pertemuan Paris tahun 1919, rakyat Palestina sudah menuntut kemerdekaan dari penjajah.

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh

Namun seperti kebanyakan rakyat terjajah saat itu tuntutan mereka diabaikan. Dalam artikelnya di Middle East Eye, profesor politik Arab modern Columbia University, New York, Joseph Massad mengatakan dukungan negara kolonial atau penjajah pada Zionisme meningkat ketika proyek yang didukung Liga Bangsa-bangsa memasukan Deklarasi Balfour yang meresmikan Palestina diserahkan ke Inggris.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Setelah Perang Dunia II perjuangan dan seruan kemerdekaan di seluruh dunia menguat. Selain di dunia Arab gerakan kemerdekaan juga menguat di India, Indonesia dan Vietnam. Pada 1945 gerakan Pan-Afrika dihidupkan kembali dalam kongres kelima yang digelar di Manchester. Gerakan ini menuntut kemerdekaan bagi masyarakat Afrika yang berada di bawah kekuasaan kolonial, termasuk di Afrika Utara dan protektorat Prancis.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

Indonesia pun menjadi tuan rumah pertemuan Asia-Afrika di Bandung. Pertemuan itu diselenggarakan India, Pakistan, Burma, Indonesia, dan Sri Lanka. Dari 29 negara yang berpartisipasi enam diantaranya negara Afrika: Mesir, Libya, Sudan (yang saat itu belum merdeka), Ethiopia, Gold Coast (yang masih merupakan koloni Inggris), dan koloni pemukim Liberia.

ADVERTISEMENTS
Berita Lainnya:
Prancis Akan Kirim Ratusan Kendaraan Lapis Baja ke Ukraina untuk Hadapi Rusia

Di antara para negara pengamat yang hadir adalah perwakilan dari gerakan kemerdekaan di koloni-koloni di Maroko, Tunisia, dan Aljazair, serta tiga pengamat Kongres Nasional Afrika dan Kongres India Afrika Selatan dari Afrika Selatan. Anggota Kongres Kulit Hitam AS, Adam Clayton Powell, juga datang untuk “membela posisi Amerika Serikat dalam kaitannya dengan masalah warga kulit hitam”.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil

Mantan mufti agung Yerusalem dari Palestina Haji Amin el-Husseini bergabung dengan delegasi Yaman, seperti halnya perwakilan dari Irian Barat yang menginginkan pembebasan dari Belanda. Massad mengatakan apa yang terjadi di Bandung, merupakan perlawanan terhadap hegemoni kekuatan imperialisme, terutama AS yang menentang seruan penentuan nasib sendiri.

Negara-negara Asia dan Afrika sudah memperjuangkan dimasukkannya penentuan nasib sendiri di PBB sejak akhir Perang Dunia Kedua. Sejak 1950, perdebatan mengenai penjajah di Komite Ketiga Majelis Umum PBB telah berkecamuk.

Dengan negara-negara penjajah bersikeras agar klausul penjajahan tidak dimasukan ke dalam resolusi yang akan datang. Pada 1952, Amerika menolak resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan penentuan nasib sendiri merupakan hak asasi manusia dan “dengan pahit menolak persyaratan yang mengharuskan negara-negara penjajah melaporkan kemajuan wilayah-wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri menuju pemerintahan sendiri”.

Massad mengatakan delegasi Asia dan Afrika di Konferensi Bandung penentang keras kolonialisme. Di antara mereka terdapat delegasi Arab dari Suriah, Irak, dan Arab Saudi, yang memainkan peran penting dalam mengalahkan klausul kolonial dan mendorong penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia.

Berita Lainnya:
Mesir dan PBB Sepakat Israel Harus Akhiri Segera Penindasan Warga Sipil di Gaza 

Beberapa bulan setelah Konferensi Bandung, pada bulan November 1955, Komite Ketiga menyepakati perumusan hak untuk menentukan nasib sendiri, yang kemudian diadopsi dalam resolusi 1960 dan Kovenan PBB 1966. Pemungutan suara dilakukan setelah pemerintah dan perusahaan-perusahaan AS selalu bersikap keras terkait isu menentukan nasib sendiri secara ekonomi di PBB. 

Mereka bersikeras hak tersebut hanya dapat mencakup penentuan nasib sendiri secara politis. Terutama setelah Presiden Guatemala Jacobo Arbenz Guzman melakukanreformasi lahan yang merujuk pada resolusi Majelis Umum PBB tahun 1952 yang mendukung nasionalisasi dan mengancam bisnis-bisnis AS.

AS kemudian menggulingkan Arbenz dari kekuasaannya lewat kudeta militer pada tahun 1954. Chili, seperti negara-negara Amerika Latin lainnya, yang secara ekonomi didominasi AS, pada gilirannya berusaha untuk mengubah rancangan perjanjian hak asasi manusia pada tahun yang sama untuk menyatakan “hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri termasuk hak ekonomi untuk mengontrol semua sumber daya alam mereka dan tidak dirampas penggunaannya atau cara hidup mereka oleh tindakan kekuatan luar mana pun.”

x
ADVERTISEMENTS
1 2 3

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi